Saturday, May 7, 2011

FILSAFAT ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
Kemasyhurannya melangkaui wilayah dan negara Islam. Bukunya Al Qanun fi al-Tibb telah diterbitkan di Roma pada tahun 1593 sebelum dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Precepts of Medicine. Dalam jangka masa tidak sampai 100 tahun, buku itu telah dicetak ke dalam 15 buah bahasa. Pada abad ke-17, buku tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan asas diuniversitas- universitas Itali dan Perancis. Malahan sehingga abad ke-19, bukunya masih diulang cetak dan digunakan oleh para pelajar perubatan.
Beliau  juga telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul (Remedies for The Heart) yang mengandungi sajak-sajak perubatan. Dalam buku itu, beliau telah menceritakan dan menghuraikan 760 jenis penyakit bersama dengan cara untuk mengubatinya. Hasil tulisan Ibnu Sina sebenarnya tidak terbatas kepada ilmu perubatan sahaja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti metafizik, muzik, astronomi, philologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.
Penguasaan Beliau dalam berbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh sarjana yang serba boleh. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi berjaya mencapai tahap kemuncak (zenith) iaitu puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang yang diceburinya.
Di samping menjadi puncak dalam bidang perubatan, Beliau juga menduduki kedudukan yang tinggi dalam bidang ilmu logik sehingga digelar guru ketiga. Dalam bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk kumpulan risalah yang mengandungi hasil sastera kreatif.
Siapakah dia? Dia adalah Ibnu Sina, intelektual islam yang namanya sudah tidak asing lagi ditelinga orang- orang terutama kalangan islam. Untuk itu makalah ini akan mencoba akan menjelaskan mulai dari biografi, karya- karya beliau serta pemikirannya

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ibn Sina
            Beliau lahir pada masa kekacauan, dimana khilafat Abbasiah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula di bawah kekuasaan khilafat tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan khilafat Abbasiah, dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H. Di antara daerah-daerah yang berdiri sendiri adalah daulat Samani di Bukhara, dan di antara khalifahnya ialah Nuh ibn Manshur.[1]
            Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara) pada 70 H. Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Buhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapatkan tiga orang anak, Ali, Husein (Ibn Sina), dan Muhammad.
            Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehinnga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan ia juga hafal kita metafisika karangan Aristoteles telah dibacanya empat puluh kali, kendati pun ia belum memahaminya sampai membaca ulasan Al-Farabi. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, dan filsafat. Bahkan ilmu kedokteran dipelajarinya sendiri. Di antara guru-gurunya hanya Abu ‘Abdullah al-Natili (dalam bidang logika) dan Isma’il (seorang zahid) yang dikenal namanya. Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam berbagai bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur sehingga di undang untuk mengobati Sultan Samind di Bukhara, Nuh ibn Manshur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan sultan, sehingga ia di beri kesempatan untuk menelaah kitab-kitab yang tersimpan di perpustakaan sultan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa, Ibn Sina dapat menghafal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal ini menjadi modalnya untuk menulis buku pertamanya tentang psikoligi menurut metode Aristoteles, dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku ini dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku ini berjudul Hadiyah al-Ra’is ila al-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir)[2]
            Namun, karena sesuatu hal perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpahkan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat perpustakaan itu.[3]
            Pada masa mudanya Ibnu Sina tertarik kepada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia banyak mendengar percakapan antara tokoh-tokoh dua aliran tersebut dengan ayahnya atau dengan kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal akal pikiran dan kejiwaan menurut cara mereka. Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam autobiografinya, ia tidak dapat menerima aliran-aliran tersebut dan menjauhinya. Hal itu menunjukkan kemandirian berfikir Ibn Sina dan tidak mengikuti madzab Sunnah maupun madzhab Syi’ah.Ia muncul dengan madzhabnya sendiri, yakni madzhab Sinawi (madzhab Ibn Sina). Jadi, amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang corak madzhab yang dikembangkannya, apakah cenderung ke Syi’ah atau cenderung ke Sunnah. Tampaknya, Ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filsafat maupun di bidang keagamaan.
            Dalam usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju Jurjan, dimana ia berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al-Jurjani yang kemudian menjadi salah seorang muridnya, dan penulis sejarah hidupnya. Tetapi ia tidak lama bermukim di kota ini karena kekacauan politik, lalu ia pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan ini Ibn Sina berhasil menyembuhkan sultan Syams al-Daulah dari Dinasti Buwaih[4]. Atas jasanya ini sultan membalasnya dengan mengangkatnya sebagai Wazir ‘Azhim (Perdana Mentri) di Rayyand. Namun tidak berapa lamamemangku jabatan tersebut, pihak meliter menangkap Ibn Sina dan merampas hartanya, serta berencana untuk membunuhnya. Atas bantuan sultan Syams al-Daulah, ia dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi Ibn Sina berhasil menyembuhkan penyakit perut (maag) yang di derita sultan dan sebagai imbalannya, sultan menobatkannya ebagai mentri untuk yang kedua kalinya di Hamadan. Jabatan ini di embannya sampai Syams al-Daulah meninggal dunia. Kemudian ia mengundurkan diri dan ingin pergi ke Isfahan untuk berbakti kepada raja ‘Ala’u al-Daulah. Sebelum niat ini terlaksana, ia ditangkap oleh Taj al-Muluk, anak Syams al-Daulah, dan dipenjara di benteng Fardajan selama empat bulan. Ia berhasil lari dari penjara di Hamadan dengan cara menyamar ke Isfahan, dimana ia disambut dengan baik sekali.
            Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan meninggal di Hamadzan pada 428 H dalam usia 57 tahun.[5] Diberitakan, penyakit perut (maag) yang membawa kematiaanya sebagai dampak dari kerja kerasnya untuk urusan Negara dan ilmu pengetahuan. Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan menulis hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-miskin, dan mengisi waktunya dengan beribadat kepada Allah.

B.     Karya-karya Ibn Sina
Diantara karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah:
a)      As-Syifa. Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, dan terdiri dari empat bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika.
b)      An-Najat. Buku ini merupakan ringkasan buku As-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 di Mesir.
c)      Al-Isyarat wa at- Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling terbaik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya diterjemahkan kedalam bahasa Perancis. Kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
d)     Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan banyak orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi mengenai Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
e)      Al-Qanun atau Canon of Medicine. Buku ini pernah diterjemahkan kedalam bahasa latin dan pernaj menjadi buku standart untuk universitas-universitas Eropasampai akhir abad ke 17 Masehi. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan di India tahun 1323 H.[6]
f)       Hidayah al-Rais li al-amir.
g)      Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiqiyah.
h)      Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (Logika Timur).[7]

C.    Filsafat Ibnu Sina
a.   M e t a f i s i k a
Ibn Sina (filosof muslim di Timur) dan Ibn Rusydi (filosof muslim di Barat, Maghribi) adalah dua orang filosof abadi dalam sejarah pemikiran Islam yang menduduki tempat khusus dalam sejarah pemikiran dunia. Keduanya telah berhasil memadukan akidah al-Qur’an dengan filsafat Yunani.
Jika dalam kalangan para mutakallimin (teolog) terdapat kecenderungan berdalil dengan “baharu alam” sebagai bukti adanya Tuhan, maka itu disebabkan suatu pendirian bahwa alam itu dijadikan Allah sesuai dengan iradah-Nya yang azali. Tanpa kehendaknya alam ini tidak akan pernah terjadi. Dengan begitu, alam ini baharu  sedangkan Allah adalah qadim, tidak berawal.
Berbeda dengan konsepsi Ibnu Sina yang tidak tertarik dengan dalil tersebut. Sebab, dalil tersebut mengandung dalam dirinya suatu pengakuan bahwa seolah-olah ada suatu zaman dimana Allah tidak berbuat apa-apa dan baru kemudian Allah berbuat , lalu alam ini pun terjadi. Pendirian seperti ini, menurut Ibnu Sina, tidak benar karena Allah pernah menganggur dan kemudian bekerja. Hal ini hanya dapat berlaku pada manusia, tidak pada Allah Yang Maha Sempurna. Watak kesempurnaan mengharuskan Allah berbuat atau mencipta sejak azali, tidak hanya pada suatu waktu tertentu saja. Karenanya, Ibnu Sina mengajukan dalil lain sebagai bukti adanya Allah yang sesuai dengan sifat kesempurnaan-Nya, yaitu dalil wajib dan mungkin atau yang juga dikenal dengan dalil ontologi. Jika diandaikan alam ini mungkin hakiki, sebagai wataknya yang hakiki, maka ia tidak akan ada dalam kenyataan empiris seandainya tidak ada sebab yang wajib yang tidak mengandung dalam dirinya kemungkinan, karena mustahil ada padanya daur dan tasalsul sebab yang dimaksud adalah Allah.
Dalil tersebut tidak diterima oleh Ibnu Rusydi karena pembagian wujud kepada dua jenis itu (wajib dan mungkin) tidak dapat menjangkau semua jenis wujud. Sedangkan alam ini yang berwatak baharu sebagai dalil para mutakallimin juga ditolaknya karena kebaharuannya itu didasarkan pada konsep jauhar fard. Selanjutnya, Ibnu Rusydi mengajukan dalil lain yang sesuai bagi semua tingkatan manusia, yakni dalil ‘inayah yang didasarkan pada suatu kenyataan bahwa semua yang ada ini adalah sesuai dengan kebutuhan manusia, dan dalil ikhtira’ yang didasarkan pada segala sesuatu yang di langit dan di bumi adalah diciptakan, bukan terjadi dengan sendirinya.
Mengenai bagaimana alam ini diciptakan, Ibnu Sina menjelaskan dengan teori emanasi yang dalam filsafat Islam dikenal dengan nazhariyyatul faidh. Dalam teori ini, alam melimpah dari Tuhan, bukan karena kehendak-Nya, yang selanjutnya dikenal dengan adanya akal pertama dan terus hingga akal kesepuluh. Karena terjadi dengan melimpah, maka alam ini adalah qadim, namun karena ia hasil limpahan maka ia adalah baharu. Dengan kata lain, dari segi zatnya alam ini baharu dan dari segi zaman ia adalah qadim.
Konsepsi limpahan tersebut telah mengundang reaksi keras Hujjatul Islam Imam Al Ghazali. Dalam karyanya Tahafut Al-Falasifah, Al Ghazali menyanggah penafian iradah Tuhan karena alam ini melimpah maka ia terjadi dengan sendirinya tanpa kehendak-Nya, dan hal ini bertentangan dengan ajaran agama yang menetapkan iradah sebagai salah satu sifat Tuhan. Karenanya, Al Ghazali mengkafirkan orang yang mengatakan alam ini qadim karena selain syirik, juga menafikan Allah sebagai Pencipta alam ini.
Terhadap kritik Al Ghazali tersebut, Ibnu Rusydi telah menjawab dengan membela konsep Ibnu Sina. Baginya, kesempurnaan Tuhan harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali dan sejak itu pula iradah-Nya sudah berlaku.jika tidak, maka kita harus mengakui bahwa Tuhan pernah menganggur pada zaman tertentu, sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat kesempurnaan-Nya. Walaupun begitu, ia tidak dapat menerima konsep Ibnu Sina bahwa karena Tuhan itu Esa, maka yang melimpah dari-Nya juga harus satu, yakni akal pertama. Menurut Ibnu Rusydi, yang melimpah dari Tuhan itu tidak hanya satu, tapi juga lebih dari satu.[8]
b. K e d o k t e r a n
            Kemasyhurannya melangkaui wilayah dan negara Islam. Bukunya Al Qanun fi al-Tibb telah diterbitkan di Rom pada tahun 1593 sebelum dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Precepts of Medicine. Dalam jangka masa tidak sampai 100 tahun, buku itu telah dicetak ke dalam 15 buah bahasa. Pada abad ke-17, buku tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan asas diuniversiti-universiti Itali dan Perancis. Malahan sehingga abad ke-19, bukunya masih diulang cetak dan digunakan oleh para pelajar perubatan.
Ibnu Sina juga telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul (Remedies for The Heart) yang mengandungi sajak-sajak perubatan. Dalam buku itu, beliau telah menceritakan dan menghuraikan 760 jenis penyakit bersama dengan cara untuk mengubatinya. Hasil tulisan Ibnu Sina sebenarnya tidak terbatas kepada ilmu perubatan sahaja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti metafisik, musik, astronomi, philologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.
Penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh sarjana yang serba boleh. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi berjaya mencapai tahap kemuncak (zenith) yaitu puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang yang diceburinya.
Di samping menjadi puncak dalam bidang perobatan, Ibnu Sina juga menduduki kedudukan yang tinggi dalam bidang ilmu logik sehingga digelar guru ketiga. Dalam bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk kumpulan risalah yang mengandung hasil sastera kreatif.
Perkara yang lebih menakjubkan pada Ibnu Sina ialah beliau juga merupakan seorang ahli falsafah yang terkenal. Beliau pernah menulis sebuah buku berjudul al-Najah yang membicarakan persoalan falsafah. Pemikiran falsafah Ibnu Sina banyak dipengaruhi oleh aliran falsafah al-Farabi yang telah menghidupkan pemikiran Aristotle. Oleh sebab itu, pandangan perubatan Ibnu Sina turut dipengaruhi oleh asas dan teori perubatan Yunani khususnya Hippocrates.
Perubatan Yunani berasaskan teori empat unsur yang dinamakan humours iaitu darah, lendir (phlegm), hempedu kuning (yellow bile), dan hempedu hitam (black bile). Menurut teori ini, kesehatan seseorang mempunyai hubungan dengan campuran keempat-empat unsur tersebut. Keempat-empat unsur itu harus berada pada kadar yang seimbang dan apabila keseimbangan ini diganggu maka seseorang akan mendapat penyakit.
Setiap individu dikatakan mempunyai formula keseimbangan yang berlainan. Meskipun teori itu didapati tidak tepat tetapi telah meletakkan satu landasan kukuh kepada dunia perubatan untuk mengenal pasti puncak penyakit yang menjangkiti manusia. Ibnu Sina telah menapis teori-teori kosmogoni Yunani ini dan mengislamkannya.
Ibnu Sina percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri daripada empat unsur yaitu, tanah, air, api dan angin. Keempat-empat unsur ini memberikan sifat lembap, sejuk, panas, dan kering serta sentiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam alam ini. Ibnu Sina percaya bahawa wujud ketahanan semula jadi dalam tubuh manusia untuk melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan unsur-unsur yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang kuat dalam tubuh bagi mengekalkan kesihatan dan proses penyembuhan.

c. P e n d i d i k a n
            Sebagai ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur Al-Tabibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran.
Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu.
Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
  1. Ilmu yang tak kekal
  2. Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat disebut logika.
Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
  1. Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli.
  2. Ilmu praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah).
Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikan oleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif. Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat) kebahagian dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat. Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui risalah kenabian. Jadi para nabilah yang membawa manusia mencapai kebahagian secara menyeluruh.
Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak. Dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat dan kemauan anak maka bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut Ibnu Sina kecenderungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarenakan didalam diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami / dimengerti dan sulit untuk di ukur kadarnya.[9]
Selanjutnya Ibnu Sina memberikan bukti tentang adanya jiwa, Ibnu Sina mengajukan beberapa argument, yakni (1) argument psikofisik, (2) argument “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, (3) argument kontinuitas, dan (4) argument manusia tebang di udara. Untuk pembuktian yang pertama, Ibn Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsure luar, dan gerak tidak terpaksa. Gerakan yang tidak terpaksaada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah, ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia berjalan dikulit bumi ini. Menurut hukum alam manusia harus diamdi tempat karena mempunyai berat badan sama dengan benda padat. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak tertentu diluar unsure tubuh itu sendiri. Inilah yang dinamakan jiwa oleh Ibn Sina. Untuk pembukian yang kedua, Ibn Sina membedakan aku sebagai jiwa, dan badan sebagai alat. Ketika seeorang berkata, dia akan tidur, maksudnya bukan ia pergi ketempat tidur atau memejamkan mata dan tidak menggerakkan anggota badan, tetapi adalah seluruh pribadi yang merupakan aku. Aku dalam pandangan Ibn Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi adalah jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menimbulkan fenomena-fenomena yang berbeda-beda, seperti benci-cinta, susah-gembira, menolak-menerima.
 Semua fenomena ini merupakan satu kesatuan, sebab kalau saling bermusuhan tidak akan timbul keharmonisan. Karena itu, perlu jiwa untuk mempersatukan fenomena jiwa yang berbeda tersebut supaya timbul keserasian. Kalau kesatuan ini lemah juga kehidupan, dan begitu juga sebaliknya. Bila kesatuan fenomena psikologis mengharukan adanya aal sebagai sumbernya, tentu tidak bisa dielakkan kalau jiwa itu ada. Dalam pembuktian ketiga, Ibn Sina mengatakan bahwa hidup rohaniah hari ini berkaitan dengan hidup kita kemarin tanpa ada tidur dan kekosongan. Jadi, hidup itu adalah berubah dalam satu intaian yang tidak terputus-putus. Untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik merupakan tingkah laku maupun merupakan hal ihwal disekitarnya. Ebagai contoh, Ibn Sina membandingkan antara jiwa dan badan. Badan kalau tidak diberi makan dalam waktu tertentu akan berkurang beratnya karena badan mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tetap tidak berubah. Dengan demikian jiwa berbeda dengan badan. Adapun pembuktian keempat, Ibn Sina mengatakan: Andaikata ada seeorang lahir dengan dibekali kekuatan akal, dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa yang ada di sekelilingnya. Kemudia ia diletakkan di udaradan diatur supaya tidak terjadi benturan dengan apa yang ada di sekelilingnya. Tanpa ragu-ragu orangtersebut akan mengatakan dirinya ada. Pada saat itu boleh jadi ia tidak bisa menetapkan bahwa badannya ada. Kalau ia mampu menetapkan adanya badan dan anggota badan, maka wujud yang digambarkan itu tidak mempunyai tempat. Kalau dia saat melayang memperkirakan ada tangan atau kakinya, dia tidak mengira apakah itu tangan atau kakinya. Dengan demikian, penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.[10]

d. T a s a w u f
            Mengenai tasawuf, menurut Ibn Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orng sifi sebelumnya. Ia melalui tasawufnya dengan akal yang dibantu olehhati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dan akal Fa’al. dalam pemahaman Ibn Sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak kepada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal Fa’al.
mengenai bersatunya Tuhan dengan manusia atau bertempatnya Tuhan di hati diri manusia tidak diterima oleh Ibnu Sina, karena mnausia atau bertempatnya tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh Ibn Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan Tuhan saja. Karena manusia mendapat sebahagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar dari  Allah, tetapi melalui akal Fa’al.
Berkaitan dengan anggapan bahwa ittihad dapat membawa bersatunya makhluk dengan pencipta-Nya tidak dapat diterima akal sehat, karena hal ini mengharuskan sesuatu menjadi banyak pada waktu yang sama.[11]

BAB III
KESIMPULAN
1.      Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara) pada 70 H.
2.      Diantara karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah:
a)      As-Syifa.
b)      An-Najat.
c)      Al-Isyarat wa at- Tanbihat.
d)     Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah.
e)      Al-Qanun atau Canon of Medicine.
f)       Hidayah al-Rais li al-amir.
g)      Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiqiyah.
h)      Al-Manthiq al-Masyriqiyyin (Logika Timur).
3.      Adapun pemikiran-pemikiran Ibn Sina antara lain tentang:
a.       Metafisika
b.      Kedokteran
c.       Pendidikan
d.      Tasawuf
 DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Filsafat Islam, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1982),  cet ke-1 Hasyimsyah Nasution,  Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pertama,1999),
Jalaluddin & Usman Ibnu Said, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), Cet.2,
Http://miftah19.wordpress.com/2010/02/11/kontroversi-pemikiran-tentang-ketuhanan-metafisika-dan-alam/


[1] Abu Ahmadi, Filsafat Islam, (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1982),  cet ke-1, h. 137
[2] Hasyimsyah Nasution,  Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pertama,1999), h.66-67
[3] Abu Ahmadi…h.137
[4] 1015-1022
[5] dibuku Drs. H. Abu Ahmadi Ibn Sina dikatakan meninggal pada umur 58 tahun
[6] Abu Ahmadi…h.139
[7] Hasyimsyah Nasution…h.69

[8] http://miftah19.wordpress.com/2010/02/11/kontroversi-pemikiran-tentang-ketuhanan-metafisika-dan-alam/

[9] Jalaluddin & Usman Ibnu Said, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), Cet.2, h. 137-138

[10] Hasyimsyah Nasution…h.71-72
[11] Hasyimsyah Nasution…h.77

No comments:

Post a Comment