Wednesday, May 25, 2011

Artikel Text Book Reading


Supplementary Education In Asia (Tambahan Pendidikan di Asia)
The theme of this issue of the Newsletter, supplementary education, embraces lessons beyond school time in domains that relate to the official school curriculum. (Pada pokok persoalan dari surat kabar, tambahan pendidikan, mencakup pelajaran di luar waktu sekolah dalam domain yang berhubungan dengan kurikulum sekolah pejabat financial). The focus is on programmes that charge fees and are operated by the private sector. (Program khusus itu dikenakan biaya dan dioperasikan oleh sector swasta). Japan’s juku and South Korea’s hagwons are major manifestations of this phenomenon. (Juku Hagwons Jepang dan Korea Selatan adalah manifesatsi utama dari fenomena ini). In some countries, teachers provide extra lessons for their students in exchange for a fee. (Di beberapa negara, para guru memberikan pelajaran ekstra bagi siswa dengan imbalan biaya). Other forms of supplementary education include one-to-one tutoring by university students for secondary students. (Bentuk lain pendidikan tambahan mencakup salah satu pemberian pelajaran extra oleh mahasiswa untuk siswa SMA) 
          The existence of supplementary education may be contextualised within wider patterns.(Adanya Keberadaan pendidikan tambahan mungkin dikontekstualisasikan dalam pola yang lebih luas). Education has become increasingly central to national self-perception and public discourse.( Pendidikan menjadi pusat bagi persepsi diri nasional dan wacana publik).  Some of this prominence has been stimulated by UNESCO’s Education for All (EFA) agenda and by the OECD’s Programme for International Student Assessment (PISA). (Beberapa dari keunggulan ini distimulasikan oleh Pendidikan UNESCO untuk semua agenda (EFA) dan program OECD untuk penilaian murid internasional (PISA). Some policy themes and research foci – such as accountability, choice, and excellence – have spread globally and serve as cornerstones for public debates and understanding. (Beberapa tema dan fokus penelitian kebijakan - seperti akuntabilitas, pilihan, dan keunggulan - telah menyebar di dunia dan menjadi pilar untuk debat publik dan pemahaman). Yet despite this attention, the growth and spread of supplementary education has generally escaped public scrutiny. (Namun, meski perhatian ini, pertumbuhan dan penyebaran pendidikan tambahan, umumnya lolos oleh pengawasan public). The phenomenon deserves more attention, in Asia as much as in the rest of the world, especially since some of the most securely institutionalized systems of supplementary education can be found in Asia. (Fenomena ini layak untuk mendapatkan perhatian yang lebih, di Asia dan di seluruh dunia, terutama sejak beberapa sistem di lembaga pendidikan tambahan dapat ditemukan di Asia).
A variety of contexts and patterns (Berbagai Konteks dan Pola)
       The societies examined in this Focus section represent a variety of cultures and income levels. (Dalam bagian ini Masyarakat dibahas mewakili Fokus berbagai budaya dan tingkat pendapatan). Value systems and other dimensions of cultures in Japan are very different from those in Vietnam, which in turn are very different from those in Australia. (Nilai sistem kebudayaan di jepang dan dimensi lain sangat berbeda dari orang-orang di Vietnam, yang pada gilirannya sangat berbeda dari mereka di Australia). Cultural contexts are important because, in combination with economic and other forces, they provide much of the explanation for the scale and form of supplementary education. (Konteks budaya sangat penting karena, dalam kombinasi dengan kekuatan ekonomi dan lainnya, mereka banyak memberikan penjelasan untuk skala dan bentuk pendidikan tambahan). Related factors include perceptions about the rewards for success in education systems, and the extent to which success can be enhanced through supplementary activities. (Terkait faktor termasuk persepsi tentang imbalan untuk sukses dalam pendidikan sistem, dan sejauh mana keberhasilan dapat ditingkatkan melalui kegiatan tambahan).
          The articles in the Focus include examples of three common types of supplementary education. .( Artikel dalam Fokus menyertakan contoh-contoh dari tiga umum jenis pendidikan tambahan.) One type, prevalent in East Asia, is structured by entrance examinations and aimed mainly at high achievers.( Salah satu jenis, terjadi di Asia Timur, disusun oleh ujian masuk dan bertujuan terutama pada berprestasi tinggi.) Much of this tutoring is provided by companies of various kinds. Another type, more common in low-income countries of Central, Southeast and South Asia, is tutoring provided by teachers on their own initiative to supplement their wages. (Banyak dari les ini disediakan oleh perusahaan-perusahaan dari berbagai macam. Jenis lain, lebih umum di negara-negara berpenghasilan rendah Tengah, Tenggara dan Selatan Asia, les disediakan oleh guru atas inisiatif sendiri untuk menambah upah mereka.)  A third type, exemplified by dominant patterns in Australia, is more concerned with study skills, self-confidence and widening of horizons. .( Jenis ketiga, dicontohkan oleh pola yang dominan di Australia, lebih peduli dengan belajar keterampilan, rasa percaya diri dan pelebaran cakrawala.)
Scale of the phenomenon.
          Supplementary education has become a huge enterprise, occupying significant proportions of the time of students and their families, providing substantial employment, and generating large revenues for individuals and corporations.( tambahan pendidikan telah menjadi perusahaan besar, proporsi yang signifikan menempati waktu keluarga, menyediakan lapangan kerja subtansial, dan menghasilkan pendapatan yang besar bagi individu dan Sebuah beberapa indikator untuk kawasan Asia (lihat Bray 2009: 18-21) meliputi:
perusahaan.)                                                                                       
 A few indicators for the Asian region (see Bray 2009: 18-21) include:
(Sebuah beberapa indikator untuk kawasan Asia (lihat Bray 2009: 18-21) meliputi)


Bangladesh
National survey data indicate that in 2005, 31.0% of primary school students were receiving tutoring (28.2% in rural areas; 51.73% in urban areas). (Data survei nasional menunjukkan bahwa pada tahun 2005, 31,0% siswa sekolah dasar menerima les (28.2% di daerah pedesaan; 51,73% di perkotaan).
China
The 2004 Urban Household Education and Employment survey covered 4,773 households. It indicated that tutoring was received by 73.8% of primary, 65.6% of lower secondary, and 53.5% of upper secondary students.( Survei Pendidikan Rumah Tangga Perkotaan dan Ketenagakerjaan di tahun 2004  meliputi 4.773 rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa les diterima oleh 73,8% dari primer, 65,6% lebih rendah sekunder, dan 53,5% dari siswa menengah atas).
Hong Kong
Government statistics suggest that 34% of primary and secondary pupils received tutoring in 2006. A 2004/05 survey of 13,600 households suggested that among pupils at each level, proportions receiving tutoring were 36.0% at primary, 28.0% at lower secondary, 33.6% at middle secondary,and 48.1% at upper secondary education.( Statistik pemerintah  menunjukkan bahwa 34% dari primer dan murid sekunder menerima les pada tahun 2006. Sebuah survei 2004/05 dari 13.600 rumah tangga menunjukkan bahwa di antara masing-masing tingkat murid, proporsi menerima les adalah 36,0% pada primer,
28,0% lebih rendah sekunder, 33,6% di tengah sekunder, dan 48,1% pada pendidikan menengah atas).
India
A survey of 6,948 secondary school students in four states found that 41.3% were receiving private tutoring. In the top grade, the proportion was 53.8%. (Sebuah survei terhadap 6.948 siswa sekolah menengah di empat negara bagian menemukan bahwa 41,3% menerima les privat. Pada bagian atas grade, proporsinya adalah 53,8%)
Japan
A 2007 survey found that juku served 15.9% of Primary 1 children, that this proportion rose steadily in later grades, and that it reached 65.2% in Junior Secondary 3. In addition, 6.8% of Junior Secondary 3 pupils received tutoring at home, and 15.0% followed correspondence courses. ( Sebuah survey di tahun 2007 ditemukan bahwa Juku melayani 15,9% dari 1 Primer anak-anak, bahwa proporsi ini naik terus di kelas kemudian, dan yang mencapai 65,2% di SLTP 3. Selain itu, 6,8% dari SLTP 3 siswa diterima les di rumah, dan 15,0% diikuti kursus korespondensi).
Vietnam
In a 2001 sample survey of 72,660 Grade 5 pupils in 3,639 primary schools, 38% of pupils indicated that they were receiving tutoring. In 2002, tutoring was said to have consumed about 20% of household education expenditure. The figure peaked at 29% for pupils preparing for university entrance examinations, and was especially high in urban areas. (Dalam sebuah survei sampel 2001 dari 72.660 murid kelas 5 di 3639 sekolah dasar, 38% siswa menunjukkan bahwa mereka menerima les. Pada tahun 2002, les dikatakan memiliki mengkonsumsi sekitar 20% dari pengeluaran rumah tangga pendidikan. Angka tersebut mencapai puncaknya pada 29% untuk siswa mempersiapkan diri untuk universitas pintu masuk pemeriksaan, dan terutama tinggi di wilayah perkotaan).
          In financial terms, the most reliable figures on the size of this industry are available for South Korea, where household expenditure on private tutoring in 2008 was estimated at US$24 billion, or 2.9 per cent of Gross Domestic Product.( Dalam hal keuangan, yang paling dapat diandalkan angka pada ukuran industri ini tersedia untuk Korea Selatan, di mana rumah tangga pengeluaran untuk les privat di tahun 2008 diperkirakan US $ 24 miliar atau 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto).
          South Korea probably has the highest per capita expenditures; but other societies are moving in the South Korean direction. During the last decade, tutoring has expanded significantly throughout the region. Australia is perhaps at the other end of the scale from South Korea; but among the companies headquartered in Australia is one, Kip McGrath, which operates in 10 countries on four continents. This shows that tutoring is not just a local or a national phenomenon, but that it has attracted large multinational companies. Kumon, headquartered in Japan, claims to have four million students studying in 26,000 centres in 46 countries. (Korea Selatan mungkin memiliki pengeluaran per kapita tertinggi; namun masyarakat lainnya yang bergerak dalam arah Korea Selatan. Selama dekade terakhir, les telah diperluas secara signifikan di seluruh wilayah. Australia mungkin di ujung lain skala dari Korea Selatan, tetapi antara perusahaan-perusahaan berkantor pusat di Australia adalah satu, Kip McGrath, yang beroperasi di 10 negara di empat benua. Hal ini menunjukkan bahwa les bukan hanya fenomena lokal atau nasional, tetapi itu telah menarik perusahaan-perusahaan multinasional besar. Kumon, berkantor pusat di Jepang, mengklaim telah empat juta siswa 26.000 belajar di pusat-pusat di 46 negara).
Public attitudes to private tutoring (Sikap Publik Untuk Les Privat)
Supplementary education as a for-profit activity generally relies on a relatively liberal marketplace. The most prominent exception is South Korea, the government of which has attempted to contain the runaway household costs associated with tutoring in order to reduce inequalities of access to education. (Tambahan pendidikan sebagai kegiatan untuk-laba umumnya bergantung pada pasar yang relatif liberal. Pengecualian yang paling menonjol adalah Korea Selatan, pemerintah yang telah berusaha untuk mengandung pelarian rumah tangga biaya yang terkait dengan les dalam rangka untuk mengurangi kesenjangan akses terhadap pendidikan).
The operation of supplementary education as a business raises questions about government regulation. Not all jurisdictions require registration of tutoring businesses, and even fewer have regulations on the qualifications of teachers or the content of classes. The growth of supplementary education thus represents a return to the pre-modern forms of private education over state-run or state-supervised instruction. (Operasi tambahan pendidikan sebagai bisnis menimbulkan pertanyaan tentang peraturan pemerintah. Tidak semua yurisdiksi memerlukan pendaftaran dari bisnis les, dan bahkan lebih sedikit memiliki peraturan tentang kualifikasi guru atau isi kelas. Pertumbuhan).  Pendidikan tambahan sehingga merupakan kembali ke pra-modern bentuk pendidikan swasta atas negara-lari atau negara-diawasi instruksi.
In most settings, a whiff of illegitimacy adheres to various forms of tutoring. The terminology of ‘cram schools’ suggests an activity that has a questionable teaching method. The term ‘shadow education’, which is also common in English-language discourse, may also have a negative flavour. While many Asian societies value educational attainment and emphasize effort as a necessary ingredient for success, the teachingto- the-test that is frequently offered and perfected by supplementary education is not widely seen as a form of education per se. Such matters raise major questions both for policy makers and for academics. (Dalam pengaturan kebanyakan, bau melekat haram untuk berbagai bentuk les. Terminologi 'menjejalkan sekolah menunjukkan suatu kegiatan yang memiliki dipertanyakan metode mengajar. 'Pendidikan bayangan' Istilah, yang juga umum dalam wacana berbahasa Inggris, juga dapat memiliki rasa negatif. Sementara banyak masyarakat Asia nilai pencapaian pendidikan dan menekankan upaya sebagai bahan yang diperlukan untuk sukses, teachingto the- uji-yang sering ditawarkan dan disempurnakan oleh pendidikan tambahan ini tidak banyak dilihat sebagai bentuk pendidikan per se. hal-hal tersebut meningkatkan utama pertanyaan baik untuk pembuat kebijakan dan akademisi).
Attention from researchers (Perhatian Dari Para Peneliti)
One reason  why researchers have neglected the topic of supplementary education is that it does not fit squarely in the perceived mandates of Colleges of Education and similar bodies. The topic is a new one for researchers in almost all contexts. Institutionally in-between several subdisciplines (not school-based, but not adult or lifelong learning either) and eschewed by policy-makers, few projects beyond those included or referenced in this collection shed light on   shadow education system in Asia. (Salah satu alasan mengapa para peneliti telah mengabaikan topikpendidikan tambahan adalah bahwa hal itu tidak sesuai tepatdalam mandat dirasakan Perguruan Tinggi Pendidikan dan serupa tubuh. Topik ini merupakan yang baru bagi para peneliti di hampir semua konteks. Kelembagaan di-antara beberapa subdisiplin (bukan berbasis sekolah, tetapi tidak dewasa atau seumur hidup belajar baik) dan dihindari oleh pembuat kebijakan, beberapa proyek-proyek di luar yang termasuk atau diacu dalam ini koleksi menjelaskan sistem pendidikan bayangan di Asia).
However, patterns are beginning to change. PI SA and other studies of educational attainment are prompting a renewed interest in comparative studies of education. Also, the global ‘fashion’ for promoting market mechanisms in education is according a new status to some forms of supplementary education in the marketplace.( Namun, pola ini mulai berubah. PI SA dan lainnyastudi pencapaian pendidikan adalah memicu sebuah diperbaharui minat studi banding pendidikan. Selain itu, global 'Fashion' untuk mempromosikan mekanisme pasar dalam pendidikan adalah menurut status baru untuk beberapa bentuk tambahan pendidikan di pasar).
These factors were among the foci of a 2010 workshop on “The World-Wide Growth of Supplementary Education” held at the University of Waterloo, Canada. The event, which received funding from the Social Sciences and Humanities Research Council of Canada, led to some of the articles presented here. The workshop was co-organized by Janice Aurini (University of Waterloo), Scott Davies (McMaster University) and Julian Dierkes (University of British Columbia). Presentations at that workshop about patterns in Asia focused on Australia, Hong Kong, Japan, South Korea, and Vietnam. The workshop also brought perspectives from North America and Europe for instructive comparative analysis. This is just one example of the growing attention to the theme, which is much to be welcomed. (Faktor-faktor tersebut antara fokus dari lokakarya 2010 on "Pertumbuhan World-Wide Pendidikan Tambahan" diselenggarakan di University of Waterloo, Kanada. Acara ini, yang menerima dana dari Ilmu Sosial dan Humaniora Research Council of Canada, menyebabkan beberapa artikel-artikel yang disajikan di sini. Lokakarya ini diselenggarakan bersama- oleh Aurini Janice (Universitas Waterloo), Scott Davies (McMaster University) dan Dierkes Julian (University of British Columbia). Presentasi di bahwa workshop tentang pola di Asia difokuskan pada Australia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam. Lokakarya ini juga membawa perspektif dari Amerika Utara dan Eropa untuk instruktif perbandingan analisis. Ini hanyalah satu contoh dari perhatian yang lebih besar dengan tema, yang banyak yang harus disambut).
The groundwork for closer attention (Dasar untuk Dicermati)
With these remarks in mind, the present issue of the Newsletter aims to stimulate further attention to supplementary education. The phenomenon needs closer attention from a wide range of stakeholders, including governments, trade unions, teachers, community bodies, and parents’ associations. The research community may contribute with data and analysis from many angles. The articles in this Newsletter mainly take macro-level perspectives, but equally important are micro-level perspectives that draw on the disciplines of sociology, pedagogy, psychology and other domains. We invite readers to get in touch with us to share insights and perspectives on this domain. (Dengan sambutan dalam pikiran, masalah kiniNewsletter bertujuan untuk merangsang perhatian lebih lanjut untuk tambahan pendidikan. Fenomena Kebutuhan dekat perhatian dari berbagai pemangku kepenting an, termasuk pemerintah, serikat buruh, guru, lembaga masyarakat, dan orang tua 'asosiasi. Komunitas riset mungkin berkontribusi dengan data dan analisis dari berbagai sudut. Artikel dalam Newsletter ini terutama mengambil tingkat makro perspektif, tetapi sama pentingnya adalah tingkat mikro perspektif yang menarik pada disiplin sosiologi,
pedagogi, psikologi dan domain lainnya. Kami mengundang pembaca untuk berhubungan dengan kami untuk berbagi wawasan dan perspektif pada domain ini).


Pokok Pemikiran dan Metode Istinbanth Zhahiriyah


                                                                             BAB I
PENDAHULUAN

Dalam masyarakat kita di Indonesia ini berkembang berbagai macam aliran yang berkenaan dengan masalah fiqh. Kendatipun mayoritas umat Islam mengaku bermadzab Syafi’I, tetapi madzab lainpun sedikit banyaknya ada pengaruhnya terhadap umat Islam di sini. Pemikiran ini didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita sehari-hari, bahwa ada saja terlihat perbedaan pendapat yang berkenaan dengan masalah furu’ (cabang-cabang), baik mengenai ibadah, muamalah, dan lain-lainnya.
Perbedaan pendapat yang paling pokok dalam madzab terletak pada penafsiran teks-teks. Di satu titik ekstrim, tedapat kaum bathiniyah, yang menganggap bahwa dalam banyak kasus, sisi eksoteris yang teramati atau yang nampak (Dhahir), menunjukkan sebuah makna batin (bathin) yang kerap dikaitkan dengan signifikansi osoteris, mistis, dan perlambang dari ungkapan keluar.
Kebalikan dari bathiniyah, dalam memahami kandungan nash Al-Qur’an dan sunah. Madzab ini hanya mengambil dzahir (lahir) lafal nash dan sama sekali tidak melakukan takwil terhadap nash tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A.          Imam Daud Az-Zhahiriyah
         Beliau diahirkan di Kufah pada tahun 202 H, dengan nama Abu Sulaiman Daud ibn Ali al-Asbahani yang kemudian dikenal dengan sebutan Daud al-Dhahiri, karena beliaulah Pendiri Mazhab Zhahiriyah. Dan wafat pada tahun 270 H di Baghdad.[1]
         Mazhab Zhahiriyah adalah suatu mazhab yang menetapkan hukum Islam berdasarkan pada zahir nash saja, tidak memberikan ta’wil atau tafsir terhadap nash, baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Mereka menafsirkan ayat al-Qur’an atau hadis dengan menggunakan ayat al-Qur’an atau hadis laindan tidak menafsirkannya dengan selain itu.
Adapun pendiri dari mazhab Zhahiriyah adalah Daud ibn Ali al-Ashfahaniy yang dilahirkan pada tahun 202 H. di Kufah dan wafat pada tahun 270 H di Baghdad.
Imam Daud al-Zhahiriy bertempat di Baghdad dan asalnya dari kalngan penduduk Qasyam, yaitu sebuah negeri di Asfahan, tetapi ia dilahirkan di Kufah dan dibesarkan di Baghdad. Ayahnya adalah Panitera Qadhi Abdullah ibn Khalid al-Kufiy yang bertugas di Asfahan pada masa al-Ma’mun khalifah ketujuh dari Bani Abbas.
Imam Daud al-Zhahiriy diberi kunyah dengan Abu Sulaiman, sedangkan laqabnya adalah al-Zhahiriy, karena ia orang yang pertama kali menyatakan Zhahiriyah Syari’ah. Ia berpegang dengan pengertian lahir nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah, tanpa menta’wilkan, menganalisa dan menggali dengan ‘illah atau kausa hukum. Demikian pula ia tidak berpegang dengan rasio, istihsan, istishab, mashlahah mursalah dan dalil-dalil yang semisalnya. Dia tidak memandang satupun dari yang demikian itu sebagai dalil hukum. Pemikiran Daud al-Zhahiriy ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Nisa ayat 59 sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Daud al-Zhahiriy semula menganut mazhab Syafi’i, bahkan menjadi salah seorang pengikut mazhab Syafi’i yang terbaik dalam memahami dan mendalami ilmu-ilmu agama ia termasuk salah seorang ulama yang tekun dan rajin, terutama dalam mempelajari hadis Nabi SAW.
Dalam mempelajari hadis Nabi, Daud al-Zhahiriy mempelajarinya dengan seorang ulama hadis yang terkenal pada masanya, yaitu Ishaq ibn Rawahaih. Demikian juga ia selalu menerima dan menemui para ulama dalam usahanya mempelajari dan mengumpulkan hadis.
Setelah Imam Daud al-Zhahiriy memahami dan mendalami berbagai hadis Nabi Muhammad SAW, ia meninggalkan mazhab yang selama ini dianutnya, yaitu mazhab Imam Syafi’i. Dengan demikian, mulai saat itulah ia mulai membangun mazhabnya sendiri. Adapun alasan Daud al-Zhahiriy meninggalkan mazhab Syafi’i antara lain adalah karena mazhab Imam Syafi’i terlalu banyka mengguanakan qiyas dan ra’yu dalam menetpakan hukum Islam. Sementar Daud al-Zhahiriy ini menggunakan qiyas dan ra’yu hanya apabila tidak menjumpai nashnya dalam al-Qur’an dan Sunah Rasul, harus dimusyawarahkan dengan para ulama, tidak boleh mendahulukan ijtihad perorangan, karena musyawarah itu lebih baik daripada ijtihad perorangan.
Imam Daul al-Zhahiriy merupakan salah seorang ulama yang terkenal anti taqlid, mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Menurut Daud al-Zhahiriy, bahwa seseorang itu, meskiupun ia tidak dapat memahami ajaran Islam sehingga ia tidak dapat mengetahui maksud-maksud ayat al-Qur’an dan Hadis, maka sekurang-kurangnya ia dapat mengetahui apakah ibadah yang akan dikerjakannya itu, benar-benar berlandaskan al-Qur’an dan Hadis atau tidak.
 Imam Daud al-Zhauhariy banyak mengumpulkan pendapat-pendapat dalam bentuk tulisan dan selanjutnya dikembangkan oleh murid-murudnya. Mazhab ini tidak dapat berkembang sebagaimana mazhab-mazhab yang lain, perkembangannya hanya melalui murid-muridnya saja dan inipun tidak meluas. Demikian pula orang-orang di kemudian hari hanya mempelajari pendapat mazhab ini melalui buku-buku yang ada saja.
 Imam Daud al-Zhauhariy mempunyai kemampuan yang biasa dalam bidang karang-mengarang sebagai buah ilmunya yang banyak. Akan tetapi hasil karangannya itu sudah lama menghilang bersama para penukilnya. Ia tidak meninggalkan kitab yang dicetak ataupun manuskrip.[2]

Selain itu, Daud az-Zhahiriy banyak menulis as-Sunnah, di dalamnya juga dikemukakan pendapatnya tentang hukum-hukum yang didasarkan kepada nash dan kandungan nash-nash. Para muridnya kemudian menyebarkan tulisan-tulisan ini, misalnya putranya sendiri yang beranama Abu Bakar Muhammad bin Daud.[3]
Diantara kitab Fiqh yang pernah ditulis oleh Daud al-Zhahiriy itu dan tidak ada lagi sekarang ini, adalah : Kitab Ibthalu al-Taqlid, Kitab Ibthalu al-Qiyas, Kitab Khabar Ahad, Kitab Mujib li al-Islami, Kitab al-Hujjah dan Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal.
Adapun murid-murid Imam Daud al-Zhahiriy adalah:
a. Ibrahim ibn Muhammad (244-323 H) yang bergelar Nafthawaih.
b. Zakaria ibn Yahya al-Sajiy (w. 307 H).
c. Abbas ibn Ahmad ibn al-Fadhl al-Quraisyiy.
d. Abdullah ibn Muflis (w.324 H).
e. Muhammad ibn Daud al-Zhahiriy (255-297H).
f. Muhammad ibn Ishaq al-Qasyaniy.
g. Yusuf ibn Ya’qub ibn Mahram.
Sedangkan para pendukung dan pengembang mazhab Zhahiriy setelah Daud al-Zhahiriy meninggal dunia adalah:
a. Ahmad ibn Muhammad al-Qadhiy al-Mansyuriy.
b. Abdullah ibn Ali al-Husaib ibn Muhammad al-Nakhaiy al-Daudiy.
c. Abd. Aziz Ahmad al-Jaziriy al-Ashfahaniy.
d. Ibn al-Kholal yang terkenal dengan sebutan Abu Thayib.
e. Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy (384-456 H). Dialah yang banyak mengembangkan
mazhab al-Zhahiriy.[4]
Ibn Hazmin adalah keturuna Persi, kakeknya bernama Maula Yazid ib Abi Sufyan termasuk keturunan dan keluarga Amawiyah. Oleh karena itu pengaruh keluarga Amawiyah ini sangat besar terhadap diri Abu Muhammad Ali ibn Hazmin. Ia mula-mula mamusatkan perhatiannya terhadap ilmu hadis dan hadis, sastra Arab, sejarah dan filsafat, kemudian ia mengalihkan perhatiannya pada bidang fiqh. Fiqh yang mula-mula dipelajarinya, adalah fiqh mazhab Maliki yang menjadi mazhab Rakyat Spanyol (Andalusia). Setelah itu ia mempelajari fiqh mazhab Syafi’i dan pada akhirnya mendalami mazhab Daud al-Zhahiriy.
Meskipun ibn Hazmin mempelajari dan mengakui mazhab Zhahiriy, tetapi tidak berarti bahwa semuanya ia ikut, melainkan yang selaras dengan jalan pikirannya sejalan yang ia ikuti. Namun bagaimanapun ia berjasa dalam mengembangkan mazhab ini ke beberapa negeri, terutama melalui tulisan atau bukunya. Buku-buku yang terkenal dari karangan ibn Hazmin, antara lain:
a. Kitab Ushul al-Ahkam dalam bidang ushul fiqh.
b. Al-Muhalla, dalam bidang fiqh yang terdiri dari beberapa jilid.

B.     Ibn  Hazm  al-Andalusi
Imam Daud al-Zhahiri dan Ibn Hazm al-Andalusi, kedua ulama ini adalah ulama besar dan tokoh mazhab Zhahiri. Ibn Hazm dilahirkan di sebelah timur kota Cordoba, pada waktu fajar di akhir bulan Ramadhan  tahun 384 H. Cordoba pada saat itu menjadi pusat ilmu-ilmu Islam di belahan barat dunia Islam. Disitulah orang-orang Eropa banyak menuntut ilmu. Orang tua Ibn Hazm adalah salah seorang pejabat tinggi di Andalusia di bawah kekuasaan Bani Umayah, kemudian diberhentikan dari jabatannya dan akhirnya pindah dari kota Cordoba. Walaupun demikian, keluarga Ibn Hazm tetap merupakan keluarga yang berkecukupan.
            Ibn Hazm sejak kecil telah belajar menghafal al-Quran, mempelajari hadis, dan kaligrafi. Memahami al-Quran dan hadis ini terus berlangsung sampai beliau dewasa dan mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam hal-hal yang berhubungan dengan dengan al-Quran dan hadis. Sesudah itu beliau mempelajari Fiqh mazhab Maliki, pada waktu itu sudah dianut di Andalusia. Beliau mempelajari al-Muwatho dari Maliki, selanjutnya mempelajari juga mazhab-mazhab Syafi’I, Hanafi dan Dzahiri. Di samping itu beliau juga mendalami bahasa dan falsafah. Akan tetapi pada akhirnya beliau menganut pikiran-pikiran Zahiri yang diterima dari gurunya Mas’ud bin Sulaiman.
            Ibn Hazm adalah seorang ulama yang kritis, mempunyai daya ingat yang kuat dan rasa seni yang tinggi. Di atas semua itu beliau adalah ulama yang sangat kokoh berpegang kepada Zhahiriyah al-Quran dan as-Sunnah sebagai cermin dari keimanannya,ketakwaannya,dan keikhlasannya. Pikiran-pikiran Ibn Hazm ini banyak menarik perhatian pemuda-pemuda pada masanya, oleh karena itu tidak mengeherankan apabila pengikutnya banyak dari kaula muda.
            Banyak kitab-kitab karangannya yang sampai kepada kita adalah al-ahkam fi ushul al-ahkam adalah Ilmu Ushul Fiqh dan kitab al-Muhlla, yang merupakan kitab fiqh dalam mazhab Zhahiri. Seperti halnya ulama-ulama besar lainnya, dalam masalah-masalah Fiqh yang terperinci sering Ibn Hazm berbeda dengan Daud al-Zhahiri, meskipun alur yang ditempuhnya masih sama.[5]

C.    Perkembangan Fiqh Zhahiriy
Dapat dinyatakan bahwa fiqh Daud adalah fiqh nushush (fiqh hadis) tetapi para ulama tidak banyak meriwayatkan mazhab ini. Hal ini disebabkan oleh karena Dadu menyatakan orang yang memakai qiyas dan menegaskan bahwa al-Quran itu adalah makhluk dan orang yang berjunub atau haid boleh menyentuh al-Quran dan membacanya. Beliau mengumandangkan ini ketika para ulama di masa itu menyalahkan golongan yang menyatakan bahwa al-Quran itu makhluk.
Diantara prinsip Daud yang dicela orang adalah Daud melarang taqlid untuk siapa saja dan membolehkan orang yang mengetahui bahasa Arab memperkuat agama dengan memegang kepada dhahir al-Quran as-Sunnah.
Inilah sebabnya  para ulama di masa itu sangat keras menentangnya hingga pendapatnya dianggap tidak ada. Tetapi walau bagaimanapun kerasnya sikap ulama terhadap Daud, namun mazhabnya berkembang di Timur dan di Barat dengan prinsip mengambil dhahir al-Quran. Di bagian Timur pada abad ketiga dan keempat perkembangannya melebihi perkembangan mazhab Ahmad.
Baru abad kelima berkat usaha Ibnu Ya’la, maka mazhab Ahmad mempunyai kedudukan yang kuat dan mengalahkan mazhab Zhahiriy. Pada masa sinar cahaya mazhab pudar di sebelah Timur, pada masa itulah dia bersinar kuat di Andalus, di pancarkan oleh Ibnu Hazm. Jadi sewaktu mazhab Hanbali dengan usaha Ibn Ya’la mengalahkan mazhab Daud di bagian Timur, pada waktu itu pulalah Ibnu Hazm memancarkan sinarnya di bagian Barat.
Dalam beberapa hal mazhab Zhahiriy menyalahi pendapat para fuqaha lainnya diantaranya:
a)      Zhahiriy berpendapat bahwa air yang bercampur dengan air seni manusia, air itu tidak suci lagi (bernajis). Sedangkan air yang bercampur dengan air seni babi, tetap suci, karena tidak ada nash yang menyatakan tidak suci. Bila dikatakan orang, bahwa air seni itu sama saja dengan dagingnya (haram dan najis), maka mereka menjawab: “Pendapat demikian menurut akal, sedangkan menurut hokum Islam tidak boleh ditetapkan berdasarkan akal”.
b)      Orang yang tidak berwudhu, orang berjunub, orang yang sedang haidh, boleh menyentuh al-Qur’an karena tidak ada nash yang melarangnya dan boleh mambacanya.
c)      Dalam memakai hadis: “Tiap-tiap yang memabukkan itu khamr, dan tiap-tiap khamr itu haram”. Mereka tidak memerlukan qiyas ataupun kesimpulan, yaitu: “Tiap-tiap yang memabukkan hukumnya haram”. Jadi untuk menetapkan bahwa tiap-tiap yang memabukkan itu haram, tidak diperlukan qiyas. Dari lafal hadis itu pun sudah dapat diambil kesimpulan tentang keharaman benda-benda yang memabukkan.[6]

D.    Contoh-contoh Fiqh Zhahiriy
Contoh-contoh Fiqh Zhahiriy antara lain adalah:
1.      Tidak sah talak kepada tiga lafaz, yaitu ath-Thalaq, at-Tasrih, dan al-Faraaq.
2.      Dalam menjatuhkan talak tidak boleh diwakili, tidak sah kalau hanya dilakukan oleh wakil.
3.      Asal hokum nikah adalah wajib, berdasarkan ayat al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 3.
4.      Mempersaksikan jual beli, talak dan ruju’ hukumnya wajib, tidak sah talak dan ruju’ tanpa dua orang saksi yang adil.
5.      Barangsiapa tidak berniat  menjatuhkan talak akan tetapi karena salah bicara, jika ada bukti yang menunjukkan bahwa orang itu hendak menjatuhkan talak kepada isteinya, maka dihukumkan sebagai talak, akan tetapi jika tidak ada bukti yang menunjukkan hal itu, maka tidak dianggap sebagai talak.
6.      Isteri yang kaya, wajib member nafkah kepada suaminya yang dalam keadaan susah atau sulit mendapatkan biaya hidup, berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 228 dan al-Maidah ayat 2.[7]
E.     Metode Istinbath Mazhab Az-Zhahiri
Inti dari ajaran dan paham yang berkembang dalam mazhab az-zhahiri berkisar pada persoalan hukum Islam dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami sumber tersebut. Konsekuensi logis dari pendapat tersebut adalah adanya perbedaaan pendapat dalam masalah fikihnya.
Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Dalam cara mempertegas ijtihadnya, Imam Daud az-Zhahiri berkata :
اِنَّ اْلاُصُوْلَ : أَلْكِتَابُ وَ السُنَّةُ وَاْلإِ جْمَاعُ
“Sumber hukum pokok hanyalah al-Qur’an, Sunnah, Ijmak.”
Bagi penganut az-Zhahiri keumuman nash al-Qur’an sudah cukup menjawab semua tantangan dan masalah. Pendirian tersebut berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl: 89:
 “ (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
      Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn Idris al-Syafi’i. menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Ulama yang mengakui al-Qias biasanya ingin mengetahui makna tersirat dari suatu ketentuan al-Qur’an dan sunnah. Dalam rangka mengetaui dalil dibalik teks, ulama melakukan pengetahuan sehingga diketaui ‘illat hukumnya, baik ‘illat yang terdapat dalam Nash secara tekstual (‘illat manshuhah) maupun ‘illat yang diperoleh setelah melalui penelitian (‘illat mustanbathah). Bagi Imam Daud az-Zhahiri, tujuan penentuan syari’ah adalah Ta’abbudi (bukan ta’aquli). \
Adapaun al-dalil yang merupakan langkah-langkah ijtihad yang ditempuh oleh Imam Daud az-Zhahiri dibangun oleh Ibnu Hazm. Ad-dalil adalah suatu metode pemahaman suatu nash yang menurut ulama mazhab az-Zhahiri, pada hahikatnya tidak keluar dari nas dan atau ijmak itu sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pendekatan kepada nash atau ijmak melalui dilalah (petunjuknya) secara langsung tanpa harus mengeluarkan ‘illatnya terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-Dalil tidak sama dengan qias, sebab untuk melakukan qias diperlukannya kesamaan ‘illat secara kasus asal dan kasus baru. Sedangkan pada ad-Dalil tidak diperlukan mengetahui ‘illat tersebut.[8]
F.  Contoh Hasil Istimbath Hukum Mazhab Zhahiri
Diantara pendapat Daud az-Zahiri adalah sebagai berikut :
1.      Orang yang junub boleh menyentuh Al-Qur’an
Imam Abu Daud berpendapat bahwa Al-Qur’an yang tidak disentuh kecuali oleh yang disucikan (Q.S. al-waqi’ah: 79)
 “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”
Adalah al-Qur’an yang ada di lauh al-Mahfuzh . Menurut pendapatnya, Al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan dengan dzat-Nya. Sedangkan al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar dikalangan manusia adalah makhluk; ia (mushaf) boleh disentuh oleh yang sedang haid dan junub.
2.      Membatasi pengharaman riba
Imam Daud az-Zhahiri membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW. Barang itu adalah emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan garam. Menurut fuqaha mazhab lain, pengharaman riba pada enam jenis itu mempunyai ilat dan karenanya dapat dilakukuan qias terhadap barang yang lain yang mempunyai kesamaan ilat dengannya.
      Menurut imam Maliki, ‘illat pada gandum, jelai, dan buah kurma adalah bahwa ketiganya dapat ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, lauk-pauk, dan buah-buahan. Ilat ini terdapat juga pada beras, kacang kedelai, dan kacang tanah; maka pengharaman riba juga berlaku kepada ketiga jenis barang tersebut.
      Menurut fukaha kufah, ilat bagi keenam barang itu adalah “dapat ditimbang dan ditakar”. menurut Imam as-Syafi’i ilat pada gandum adalah “dapat dimakan, baik disimpan, ditakar, atau ditimbang maupun tidak“ sedangkan ilat pada emas dan perak adalah “memiliki nilai ganti dan harga jual.“
Daud az-Zhahiri menolak pendapat fukaha tersebut. Menurutnya, rosul telah membatasi barang-barang yang dapat ditakar, dikaman, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpanya “janganlah kamu menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba“ kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebutkan empat jenis, maka pengharaman riba terbatas keempat jenis tersebut.
3.      Dalam memahami hadis :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ خَمْرِ حَرَامٌ
“tiap-tiap yang memabukkan itu khamar, dan tiap- tiap khamar itu haram”
Mereka tidak memerlukan qias ataupun natijah (kesimpulan), yaitu:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“tiap-tiap yang memabukkan hukumnya haram”.
      Jadi untuk menetapkan bahwa tiap-tiap yang memabukkan itu haram, tidak diperlukan qias.dari lafal hadis itu pun sudah dapat diambil suatu kesimpulan tentang keharaman benda-benda yang memabukkan.
Demikian juga halnya dalam memahami ayat:
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir; jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu …….” (QS. Al-Anfal: 38)
Nash tersebut diatas memang ditujukan kepada orang-orang yang kafir. Tetapi pengertian yang dapat difahami dari lafalnya, termasuk juga orang-orang yang melakukan perbuatan maksiat. Bila orang yang berbuat maksiat itu bertaubat, maka orang ini pun akan mendapat pengampunan dari Allah. Cara memahami ayat tersebut, cukup melihat zhahir nash saja, tidak perlu dengan qias.[9]
BAB III
KESIMPULAN

            Mazhab az-Zhahiri dibangun oleh seorang fakih besar yang bernama Daud bin Khalaf al-Isfahani yang memiliki nama julukan Abu Sulaiman (Daud az-Zhahiri)
Yang mendukung penyebaran mazhab az-Zhahiri antara lain adalah: (1) Daud az-Zhahiri menulis beberapa karya yang memuat pendapatnya yang dilengkapi dalil yang cukup. (2) jasa murid-muridnya yang berfungsi sebagai penerus, pendukung, dan penyebar mazhabnya. (3) terdapat orang-orang yang berpengaruh didalam pemerintahan Bani Umayyah, antara lain adalah Qadi Abu al-Qasim Ubaidillah bin Ali an-Nakha’i (w. 376 H) yang menjadi hakim di Khurasan, Iran, yang menganut mazhab ini.
Seperti telah disebutkan, Imam Daud az-Zhahiri menolak al-qias dan mengajukan al-Dalil sebagai cara memahami nash. Bagi Imam Daud Az-Zhahiri, makna yang digunakan dari al-Qur’an dan sunnah adalah makna zhahir atau makna tersurat; ia tidak menggunakan makna tersirat, apalagi mencari ‘illat seperti yang dilakukan oleh ulama yang mengakui al-Qias sebagai cara ijtihad, seperti Imam ibn Idris al-Syafi’i. menurut Imam Daud az-Zhahiri, Syariat Islam tidak boleh diintervensi oleh akal.
Diantara pendapat Daud az-Zahiri adalah sebagai berikut : Orang yang junub boleh menyentuh Al-Qur’an, Imam Daud az-Zhahiri membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW, Menurut az-Zahiri, seorang istri yang mampu (kaya), wajib membiayai suaminya yang miskin (kurang mampu).
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, Ahmad, Ilmu Fiqh, Jakarta:Kencana, 2010
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: PT Pustaka rizki Putra, 1997.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos. 1997.



[1] M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.231
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), h.153-155
[3] A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2010), h.134
[4] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), h.155-156
[5] A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2010), h.134-135
[6]  M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.232-234
[7]  Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), h.156-157
[8]  Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab.( Semarang: PT Pustaka rizki Putra, 1997)

[9] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), h.158