Thursday, August 11, 2011

Azyumardi Azra Doktor Causa


Azyumardi Azra Doktor Causa
Dari AS
Azyumardi Terima Doktor HC dari AS
Jakarta, Kompas - Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra, Sabtu pekan lalu, memperoleh gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) dari Carroll College Montana, Amerika Serikat. Siaran pers dari Humas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterima Kompas, Senin, menyebutkan, penganugerahan gelar doktor tersebut berlangsung dalam upacara wisuda Kampus Helena Montana.
Presiden (Rektor) Carrol College Prof Thomas J Trebon dalam suratnya tanggal 28 Februari lalu menyatakan, pemberian gelar doktor HC tersebut berdasarkan keputusan dewan penyantun dengan sejumlah pertimbangan. Di antaranya, Azyumardi dinilai sebagai ilmuwan dan pribadi yang berkomitmen pada pengembangan saling pengertian dan perdamaian berbasis multikultural.
Azyumardi juga dinilai senantiasa mendorong kaum Muslimin, khususnya bangsa Indonesia, untuk menciptakan hubungan multinasional yang damai. Trebon menilai, upaya-upaya yang dilakukan Azyumardi selama ini pantas diteladani oleh mahasiswa Carrol College, terkait akan pentingnya pendidikan yang luas, toleransi, serta pengertian mendalam atas perbedaan budaya.
Menurut US News and World Report, Carroll College adalah universitas ke-5 terbaik di kawasan AS bagian barat. (NAR)
Profil
Lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, 04 Maret 1955. Menikah dengan Ipah Farihah, dikaruniai 4 anak: Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra. Pendidikan yang ditempuhnya meliputi Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, Master of Art (MA), pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University, tahun 1998, Master of Philosophy (MPhil), pada Departemen Sejarah, Columbia University, tahun 1990, Doktor Philosophy Degree, tahun 1992, dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia : Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda (KITLV Press).
Saat ini menjabat sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998-sekarang), sebelumnya pernah menjadi Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985), Dosen Pasca Sarjana Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang), Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998). Ia juga merupakan orang Asia Tenggara pertama yang di angkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009).
Di organisasi, ia pernah menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (1979-1982), Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1981-1982), Anggota Selection Committee Toyota Foundation & The Japan Foundation (1998-1999), Anggota SC SEASREP (Southeast Asian Studies Regional Exchange Program) (1998), Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) (1998-sekarang), Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), Anggota the International Association of Historian of Asia (IAHA) (1998-sekarang), Visiting Fellow pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University (1994-1995), Dosen Tamu University of Philippines dan University Malaya (1997), External Examiner, PhD Program University Malaya (UM) (1998-sekarang), Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran, Anggota Dewan Redaksi Islamika, Pemimpin Redaksi Jurnal Studia Islamika, Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta, Anggota Redaksi Jurnal Quranic Studies, SOAS/University of London, dan Jurnal Ushuludin University Malaya, Kuala Lumpur.
PENGAMAT YANG SERING DIPAKAI RUJUKAN
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ini perlahan namun pasti semakin kokoh sebagai pemikir Islam pembaharu. Pemilik nama Azyumardi Azra yang mempunyai arti mendalam sebagai “ Permata Hijau”, tak kirang telah menulis 18 buku tentang Islam. Koleksi bukunya sudah mencapai sekitar 15.000 judul buku.
Menurut pengakuan pria Minangkabau ini, perjalanan hidupnya mengalir begitu saja, seperti air. Sikap intelaktualnya pun bertumbuh alami dari awal seiring dengan komunitas diskusi yang dimasukinya. Ketika masih mahasiswa, komunitas intelektualnya adalah Forum Diskusi HP2M (Himpunan Untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat) Ciputat, kemudian HMI dilingkungan Ciputat, lalu meningkat ke LP3ES, bahkan sampai ke LIPI sebelum melalang buana ke mancanegara. Sekarang daya nalar intelektualnya dibutuhkan di mana-mana sebagai rujukan untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa.
Azyumardi Azra kini dikenal pula sebagai Profesor yang ahli sejarah, sosial dan intelektual Islam. Sejak tahun 1998 hingga sekarang dia adalah Rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sejak Mei 2002 lalu berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada awalnya. Sesungguhnya Azyumardi tidaklah berobsesi atau bercita-cita menggeluti studi keislaman. Sebab, Dia lebih berniat memasuki bidang pendidikan umum di IKIP. Adalah desakan ayahnya, yang menyuruh Azyumardi masuk ke IAIN sehingga dia kini di kenal sebagai tokoh intelektual Islam Indonesia. Dia lahir dari ayah Azikar dan Ibu Ramlah.
Kembali ke Jakarta setelah selesai Program PhD di Columbia University, pada tahun 1993, Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia dalam bahasa Inggris dan Arab untuk studi Islam di Asia Tenggara. Kembali melalang buana, pada tahun 1994-1995 sebagai Post-doctoral Fellow Southeast Asian Studies pada Oxford Centre of Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Azyumardi pernah pula menjadi Professor Tamu pada University of Philippines, Filipina dan University Malaya, Malaysia, keduanya di tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang di organisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.
Di tahun 2001, Azyumardi Azra memperoleh kepercayaan sebagai Profesor Tamu Internasional pada Departemen Studi Timur Tengah, New York University (NYU). Sebagai dosen dia antara lain memberi ceramah dan kuliah pada NYU, Harvard University (di Asia Centre), serta pada Columbia University. Dia juga dipercaya menjadi pembimbing sekaligus penguji asing untuk tesis dan disertasi di University Malaya, University Kebangsaan Malaysia, University of Leiden, University of Melbourne, Australian National University, dan lain-lain.
Suami dari Ipah Farihah serta ayah 4 orang anak, Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakinah Azra ini, juga aktif mempresentasikan makalah pada berbagai seminar dan workshop nasional maupun internasional. Pria yang pernah tercatat sebagai wartawan “Panji Masyarakat” di tahun 1979-1985 ini telah menulis dan menerbitkan buku antara lain berjudul Jaringan Ulama (tahun 1994), Pergolakan Politik Islam (1996), Islam Reformis (1999), Konteks Berteologi di Indonesia (1999), Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999), Esei-Esei Pendidikan Islam, dan Cendikiawan Muslim (1999), Renaisans Islam di Asia Tenggara (buku yang memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, Islam Substantif (2000), Historiografi Islam Kontemporer (2002), Paradigma Baru Pendidikan Nasional (2002), Reposisi Hubungan Agama dan Negara (2002), Menggapai Solidaritas (2002), Konflik Baru Antar Peradaban, Islam Nusantara- Jaringan Global dan Lokal, dan Surau; Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi (2003); Shari’a and Politics (2004). Pada tahun 2002, Ia memperoleh award sebagai Penulis Paling Produktif dari Penerbit Mizan.
Pehobi jogging dan menonton pertandingan sepak bola ini awalnya menampik sebagai pimpinan kampus, ketika ditunjuk menjadi Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik. Namun Dia sadar, adalah kampusnya itu yang telah membentuk kadar intelektualnya, yang telah pula mengirimnya sekolah ke mana-mana sehingga semuanya dianggapnya sebagai utang. Kesediaan menjadi Purek ternyata bermakna lain, menjadi sinyal bagi sejawatnya bahwa jika dipercayakan sebagai Rektor dia pasti tidak bisa menolak. “Itu saya sebut sebagai musibah”, katanya suatu ketika, menanggapi penunjukannya sebagai Rektor.
Dia pun lantas memperlebar makna kampusnya, dari IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Mei 2002 lalu. Perubahan ini disebutkannya sebagai kelanjutan ide Rektor terdahulu Prof.Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja. Itulah sebabnya, kata pemilik 16 ribu mahasiswa itu, untuk mencapai ide tersebut institusinya harus di benahi agar ilmu umum dan agama bisa saling berinteraksi. Dan satu-satunya cara adalah mengembangkan IAIN menjadi Universitas sehingga muncullah Fakultas Sains, Ekonomi, Teknologi, MIPA, Komunikasi, Matetamtika, dan lain-lain.
Azyumardi juga ingin agar wawasan keislaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keindonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keislaman yang akan kita kembangkan itu adalah keislaman yang kontekstual dengan Indonesia karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia”, ujarnya. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berdasarkan fanatisme dalam bermazhab dan memahami agama.
Sumber: Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000
Memahami Azyumardi Azra
Oleh Idris Thaha
Namanya sering menghiasi berbagai media karena analisisnya yang memang tajam. Jadi tak heran kalau dia sering dijadikan nara sumber bagi wartawan yang menginginkan berita aktual dan patut untuk disimak. Semua itu menunjukkan kalau pemikiran Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. yang kini menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, memang jernih, akurat, dan tajam.
 Azra lahir pada 4 Maret 1955 di Lubuk Alung, Sumatera Barat, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis. Ia besar di lingkungan Islam modernis. Tapi, ia justru merasa asyik dalam tradisi Islam tradisional. "Pengalaman keislaman saya yang lebih intens justru setelah saya mempelajari tradisi ulama dan kecenderungan intelektual mereka," ujarnya.
Anak ketiga dari enam bersaudara ini dibesarkan oleh ibu dan ayah. Ibunya mengajar sebagai guru agama. Ayahnya berprofesi sebagai tukang kayu dan pedagang (modal kecil), yaitu pedagang kopra dan cengkih. "Meski kehidupan kami dalam kondisi sulit, tapi ayah mau anak-anaknya harus sekolah," kata Azyumardi.
Mengenai kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, Azyumardi mengakui. "Yang sangat berbekas dalam diri saya adalah ayah saya yang punya cita-cita agar anaknya sekolah semua. Padahal, ekonomi keluarga kami sulit. Saya tahu betapa sulitnya bagi beliau tapi anak-anaknya selalu didorong agar belajar, belajar," ujarnya dengan nada sendu.
Ayah dan ibu saya sadar benar bahwa menuntut ilmu itu warisan yang paling besar yang bisa diberikan kepada anak-anaknya. Orangtua saya selalu berusaha mendorong sehingga alhamdulillah semua anaknya menjadi sarjana," tuturnya lagi.
Memasuki pendidikan
Ia memulai pendidikan formal sekolah dasar di sekitar rumahnya. Lalu, Azyumardi meneruskan pendidikannya ke PGAN Padang. Dari kecil, Azyumardi memang dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai.
Bahkan ketika sekolah di PGAN Padang, teman-temannya sempat memberinya nama julukan "Pak Karmiyus". Pasalnya Pak Karmiyus adalah guru Aljabar dan Ilmu Ukur (sekarang matematika, red.). Bila Pak Karmiyus tidak hadir, maka teman-temannya sering meminta bantuan Azyumardi untuk menjelaskan mata pelajaran yang sama di depan kelas. Bak pepatah "Kok kajadi mancik ketek-ketek alah bulek ikuanyo". Yang artinya, kalau menjadi tikus sedari kecil sudah bulat ekornya. Maksudnya adalah apalagi seseorang akan maju tanda-tandanya sudah ada dan dapat dilihat sejak masih kecil.
Setemat PGAN (1975), Azyumardi sempat bersilang pendapat dengan kedua orangtuanya. Menurutnya, waktu itu orangtuanya menginginkan agar kuliah di IAIN Padang saja, sedangkan Azyumardi memilih kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Melihat kemauan keras anaknya, akhirnya Azyumardi diizinkan orangtua untuk berangkat dan hijrah ke Jakarta. Ia melanjutkan kuliah di Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta (1976).
Selama menjadi mahasiswa IAIN Jakarta, ia aktif dalam beberapa organisasi intra dan ekstra institut. Pernah menjadi ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah (1979-1982). Juga, pernah duduk sebagai ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1981-1982). Di tengah kesibukan belajar, ia menyempatkan diri bekerja sebagai wartawan majalah Panji Masyarakat, dari 1979 sampai 1985. Dan pernah mencoba menempuh karir di LRKN LIPI (1982-1983).
Setelah menyelesaikan kuliah S1 (1982), Azyumardi memperoleh beasisiwa dari Fulbright Foundation untuk melanjutkan program S2 di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Gelar MA diperolehnya pada 1988 dari Departemen Bahasa-bahasa dan Kebudayan Timur Tengah, di universitas tersebut.
Usai S2, seharusnya ia pulang ke Tanah Air karena tidak ada biaya untuk program selanjutnya. Karena memperoleh Columbia University President Fellowship, ia melanjutkan pada departemen sejarah. Dari jurusan ini ia memperoleh gelar M.Phil. kedua pada 1990. Sedangkan gelar doktor diraihnya dari Departemen Sejarah Columbia University, pada 1992. Ia menulis disertasi dengan judul, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Netwoks of Middle Eastern and Malay Indonesia `Ulama' in the Seventeenth and Eighteent Centuries, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, cetakan ke-4, 1998).
Disertasi doktor yang relatif berat itu merupakah hasil penelitian di beberapa tempat, antara lain di Mesir, Belanda, dan Saudi Arabia. Penelitian itu, atas biaya Ford Foundation, menghabiskan waktu setahun.
Modal pengalaman wartawan memudahkan dia untuk menganalisis data dan mengorganisirnya menjadi tulisan disertasi. Sehingga setelah mengumpulkan data, dia menulis disertasi yang tebalnya 600 halaman relatif cepat, dari September 1991 sampai Juni 1992. Selain karena terbiasa menulis, ia bersungguh-sungguh dan tekun.
Usai program S3, Azyumardi diberi kesempatan lagi mengikuti program post doctoral di Oxford University selama setahun. Menurut Azyumardi, sepertinya semua sudah diatur Allah dengan rapi dan mulus.
"Tentang gelar master yang dua, itu karena pada awalnya saya mengambil kajian Timur Tengah. Itu merupakan spesialisasi karena di kajian Timur Tengah spesialisasinya tidak jelas. Lalu saya pindah ke jurusan sejarah. Ini juga terkait dengan beasiswa, untuk MA ini saya dapat beasiswa dari Fulbright, hanya sampai S2. Sedangkan S3 tidak ada, saya berarti harus cari sendiri, dan ternyata ada di Departemen Sejarah. Dan beruntung, saya dapat beasiswa lagi," urainya dengan wajah berbinar.
Memang, semua itu diraih Azyumardi melalui kerja keras penuh kesabaran. Dari awal, dia memang telah memasang tekad untuk memanfaatkan setiap kesempatan dengan sebaik-baiknya. Agar hasilnya maksimal. Tak lupa ia sempatkan diri untuk selalu berdoa dan memperbaiki ibadah. Tapi, tetap saja peran Allah terasa sangat dominan dalam setiap kesuksesan itu. Sebab, sampai sekarang, ia merasa, apa yang ia dapatkan selalu jauh lebih dari yang ia duga dan rencanakan.
Mengarungi Keluarga
Setahun setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Tarbiyah, tepatnya 13 Maret 1983, Azyumardi menyunting gadis pilihannya, Ipah Farihah, yang berasal dari kota hujan. Ipah lahir di Bogor 19 Agustus 1959, yang dikenalnya ketika menjadi aktivis kampus. Ipah adalah adik kelas Azyumardi di Fakultas Tarbiyah, dan pernah aktif di HMI Cabang Ciputat.
Ipah dikenalkan dan didorong oleh temannya untuk memilih Azyumardi. "Dia kan pintar, nanti minimal jadi rektor," begitu dorongan teman-teman itu. Tidak lama berhubungan dan saling mengenal, akhirnya mereka sepakat untuk membangun rumah tangga, tapi jalan menuju pernikahan itu tidaklah mudah. Dan, kini, ternyata apa yang dulu dikatakan teman Ipah terbukti. Dalam usia relatif muda, Azyumardi diangkat menjadi rektor di almamaternya, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
"Ya suami saya kan orang Minang. Pihak perempuan yang melamar, sedangkan saya orang Sunda yang melamar itu adalah laki-laki. Tarik ulur antara keluarga ini cukup lama," ujar Ipah menceritakan hambatan pernikahan mereka. "Akhirnya saya dilamar dengan diwakili. Ini jadi masalah karena keluarga suami saya yang
di Padang marah. Kami dimarahi, tapi setelah setahun dan saya punya anak, hubungan mulai pulih," lanjut Ipah mengenang
Dari pernikahan itu, keluarga Azyumardi-Ipah dikaruniai empat orang anak. Yaitu, Raushan Fikri Husada, Firman El-Amny Azra (keduanya lahir di New York), Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra.
Ipah merasakan bahwa suaminya adalah orang yang enak, suka berterus terang dan pemaaf, walau di awal pernikahan mereka sedikit ada masalah. "Kalau sekarang komunikasi lancar sekali dengan keluarga di Padang. Bbegitu pula dengan bantuan kami untuk adik-adik di pihak saya dan suami saya," tutur Ipah.
Dalam keseharian, Azyumardi adalah seorang ayah yang rajin mengasuh buah hatiya. Anaknya yang paling kecil lahir sebulan sebelum reformasi. Dan, menurut istrinya, dia adalah anak yang ditunggu-tunggu, karena satu-satunya putri setelah tiga kakaknya putra. Bagi Azyumardi dan istrinya, anak-anaknya adalah anugerah dan amanat Allah.
Bergantian dengan istrinya, Azyumardi harus mengasuh si kecil dan kadang juga melayani panggilan kakaknya yang masih duduk di bangku TK. "Saya mempunyai tugas yang sama dengan istri. Saling bekerja sama untuk membimbing dan mendidik anak-anak," tutur Azyumardi.
Ada yang menarik dari perjalanan hidupnya ketika Azyumardi menuntut ilmu di negeri Paman Sam itu. Sang istri juga dibawa serta. Namanya hidup di Amerika, jelas keluarga ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mengharapkan dari gaji dan beasiswa saja tentu tidak cukup. Lalu mereka pun bekerja seperti kebanyakan mahasiswa Indonesia lainnya di sana.
Selama di New York, istrinya bahu-membahu mengatasi keuangan keluarga. Saat itu Ipah menjadi penjaga bayi (babby sitter) sebuah keluarga keturunan Swiss. Walau mengaku bahasa Inggrisnya tidak begitu lancar, namun berkat kebaikan majikannya, Ipah banyak belajar dari keluarga itu. Sehingga, keluarga itu mempercayainya sampai si anak lancar berjalan. "Ini pengalaman yang menarik," akunya. Memang, uang beasiswa yang diberikan untuk suaminya tidak cukup untuk hidup berkeluarga di New York.
Sementara Azyumardi, selain terus belajar, ia juga ikut bekarja sebagai penjaga perpustakaan. Pilihan pekerjaan itu memang cukup menyenangkan, karena ia juga suka membaca. Dan itu sangat bermanfaat dalam menyelesaikan studinya.
Mengenai selera, Ipah mengatakan bahwa suaminya tidak begitu rewel. Dan ketika di negeri Paman Sam, suaminya mengaku, "Masalah selera walau saya orang Padang yang sering condong kepada makanan pedas tapi di sana tidak jadi masalah. Yang harus dijaga adalah halal. Di New York itu banyak makanan Indonesia, kalau dapat makanan Padang alhamdulillah. Tapi kalau tidak, ya saya juga tidak kesulitan," katanya memberi alasan.
Dalam menjalani hidup, pria berpenampilan sederhana ini mengaku tidak memiliki personifikasi idola. Ia hanya menjalankan prinsip hidup yang dipilihnya, tanpa menentukan target yang akan dicapai. "Saya menjalani hidup seperti biasa, tidak ada yang istimewa," ujarnya.
Membimbing Anak
Setelah beberapa tahun mengarungi bahtera rumah tangga, keluarga Azyumardi-Ipah terus membimbing anak-anaknya untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Caranya, dengan menumbuhkan minat baca kepada anak-anak.
Kegemaran membaca dan menuntut ilmu berusaha ditularkan oleh keluarga ini kepada anak-anaknya. Putra mereka yang pertama sudah memperlihatkan kecenderungan ke arah itu. "Bacaannya sekarang sudah banyak," timpal Ipah penuh semangat. Kalau ada peristiwa istimewa semisal hari ulang tahun atau meraih prestasi tertentu, maka sekeluarga pergi ke toko buku.
"Begitu juga dengan mainan. Kita memilih mainan yang mempunyai fungsi mendidik dan memperluas wawasan, semisal bacaan. Kita biasakan mereka gemar membaca atau mereka berprestasi, maka kita beri hadiah bacaan," urai Azyumardi lebih menjelaskan.
Untuk memacu semangat anaknya berprestasi, keluarga ini punya kiat. "Kalau mereka dapat nilai delapan, sembilan atau sepuluh, maka mereka langsung diberi uang. Agar, mereka bisa mengelola uang itu secara mandiri, nanti dihitung sendiri oleh mereka. Penghargaan lain adalah mengajak mereka ke toko buku yang terdekat dan saya persilahkan mereka pilih sendiri buku yang disukai," katanya lagi meyakinkan.
Azyumardi sering khawatir dengan kebiasaan banyak keluarga yang memboroskan uang hanya untuk makanan tertentu agar bisa dikatakan modern. "Karena pengaruh telivisi dan lain-lain, gaya hidup jadi berubah dan orang terpaksa mengikuti gaya itu. Orang rasanya minder kalau tidak mengkonsumsi makanan seperti McDonald's, Pizza Hut dan sejenisnya. Anak-anak kita yang dijejali iklan produk tersebut meminta orangtuanya membawa ke sana. Apalagi di lingkungan sekolahnya terjadi pembicaraan tentang hal itu, sehingga mereka mau tidak mau memaksa orangtua untuk juga membelinya," ujarnya prihatin.
"Gejala itu harus diwaspadai oleh setiap orang. Jarang keluarga di sini yang mewaspadai bahaya gaya hidup seperti itu. Mungkin didasarkan atas sayang sama anak, keinginan anak-anak untuk mencoba selalu dipenuhi sehingga menjadi kebiasaan, bahkan keharusan. Akibatnya anak terbiasa dengan kehidupan konsumtif."
Menurut Azyurmadi, walaupun orangtua mampu membeli, tapi gejala itu jangan dijadikan kebiasaan. "Orangtua harus mampu mendisiplinkan anak-anaknya, mungkin masih bisa ditolelir kalau hanya untuk mengenalkan, jangan sampai menjadi agenda hidup yang rutin," katanya mengingatkan.
"Pada keluarga saya, sedikit banyak kami mampu untuk itu. Tapi saya memberi kesadaran kepada anak-anak, bahwa kita harus membatasi diri dan mengendalikan diri. Saya dan istri membatasi untuk menikmati hal-hal seperti itu," jelasnya tentang kiat hidup sederhana. "Apalagi sekarang banyak orang susah dan tetangga kekurangan. Daripada menghamburkan uang untuk makanan mahal, kan lebih baik digunakan untuk membantu sesama yang lebih memerlukan. Jadi harus ditumbuhkan sensitivitas dan dua anak saya yang sudah cukup besar bisa mengerti hal itu," lanjutnya meyakinkan.
Kesadaran akan pentingnya hidup sederhana dan mendahulukan kebutuhan intelektual tecermin sekali pada keluarga Azyumardi. Dia berusaha agar anak-anaknya, selain main juga mempunyai jadwal yang teratur dan terencana. "Kami hanya mengizinkan mereka main vidio games kalau libur, di luar itu tidak boleh. Mereka bisa menerima karena hari biasa bukan untuk bermain, tapi untuk belajar," jelas Azyurmadi.
Menurut Azyumardi, sering terjadi orangtua karena kasihan atau sayang kepada anak, lalu membebaskan begitu saja, tanpa jadwal dan kontrol. "Akhirnya anak terbiasa hidup tanpa disiplin dan berbahaya bagi perkembangan anak itu sendiri," ingatnya.
Sedang istrinya, yang waktunya terlibat lebih banyak dengan anak-anak, mengkhawatirkan tentang pergaulan dan bahaya obat-obatan. "Karena anak saya sudah menginjak remaja. Malah di sekolahnya ada beberapa anak yang terkena obat, setelah diselidiki rupanya ada yang memaksa dan mengancam agar anak itu minum dan mengkonsumsi narkotika. Sehingga untuk jaga-jaga kami menerapkan aturan, kalau keluar, dia harus tahu tujuannya. Malah, kalau perlu nomor telepon temannya juga saya catat. Bukan hanya saya, tapi ibu-ibu di sekitar sini juga menerapkan hal yang sama," jelas Ipah.
"Walaupun dia di sekolah madrasah tapi masalah obat terlarang tetap mengkhawatirkan kami. Karena bisa saja si anak sudah tahu tidak boleh, tapi kalau dipaksa dan diancam, siapa yang menjamin?" tanyanya dengan nada khawatir. Untuk antisipasi, selain mempertebal pengetahuan agama, maka Ipah sering menasihati anaknya kalau ingin main atau belajar ke rumah teman, jangan saat rumah kosong, yang tidak ada siapa-siap atau hanya ada pembantu. Menurut Ipah, itu sangat rawan.
"Kami sendiri beruntung karena pegawai negeri yang jam kerjanya tidak sampai larit malam." Dengan jam kerja yang cukup longgar, Azyumardi-Ipah punya kesempatan untuk mendidik anak-anak mereka dengan pengetahuan agama setelah selesai shalat maghrib. "Setiap malam saya membimbing anak-anak untuk belajar Al-Quran. Kalau agak susah, biasanya suami saya turun tangan dan anak-anak patuh. Sekarang sudah banyak koleksi hafalan mereka, malah sudah ada surah-surah yang panjang," lanjut Ipah gembira.
Shalat berjamaah biasanya rutin mereka tegakkan, kecuali kalau Azyumardi ada acara penting di luar. Tapi menurut Ipah, anaknya yang sulung kini sudah bisa jadi imam untuk adik-adiknya. "Anak saya yang sulung itu sudah bisa jadi imam, dan sering membimbing adik-adiknya untuk shalat berjamaah. Shalatnya juga tidak pernah tertinggal, walau misalnya ia tertidur karena libur, begitu bangun maka cepat-cepat shalat. Kalau sedang main vidio games di sini dengan teman-temannya, ketika waktunya shalat, ya mereka melakukan shalat. Alhamdulillah, ini mungkin didukung juga oleh sekolahnya yang merupakan sekolah binaan IAIN," urai Ipah berbinar.
Kembali kepada Keluarga
Azyurmadi melihat bahwa gejala patologi sosial masyarakat yang ditandai dengan mudahnya publik mengamuk, marah, dan menjarah merupakan indikasi bahwa pembinaan keluarga selama ini terabaikan.
"Persoalan dalam masyarakat secara keseluruhan sangat kompleks. Masyarakat mudah mengamuk karena persoalan ekonomi, politik dan merosotnya otoritas pemerintah serta aparat keamanan. Utamanya karena faktor ketenteraman dalam keluarga yang jauh berkurang. Merosotnya keamanan dalam keluarga mungkin karena merosotnya ekonomi secara keseluruhan. Jadi, ini berpengaruh pada perkembangan anak. Apalagi bagi keluarga yang hidup secara konsumtif dan materialistik, maka akan menimbulkan krisis dalam keluarga itu," urai Azyumardi serius.
"           Kalau dibandingkan dengan saya kecil dulu, mamang zaman telah berubah dan gaya hidup jauh berbeda, pola konsumeristik dan materialistik tidak sedahsyat sekarang. Untuk itu kami meresponnya dengan berusaha menanamkan nilai agama sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak-anak. Hal-hal yang mendasar dalam agama seperti tauhid, membaca Al-Quran, fiqih, saya dan istri ajarkan sendiri. Begitu juga dengan akhlak, kami ajarkan langsung."
Azyumardi-Ipah mengakui tidak semuanya berjalan mulus, karena anak-anak mereka sedang berproses, adakalanya mereka lupa, nakal dan lalai. "Fungsi orangtua adalah selalu mendisiplinkan mereka, selalu mengingatkan mereka, karena anak-anak itu mempunyai kecenderungan untuk tidak teratur," kata Azyumardi.
Peran keluarga sebagai basis pembinaan moral diakui oleh Azyumardi sebagai hal yang vital. "Pada awalnya, anak-anak melihat nilai-nilai yang dipegang dan diterapkan orangtuanya. Setelah itu mereka meniru. Kalau ingin menanamkan akhlak mereka harus dimulai dari orangtuanya," lanjutnya.
Banyak orangtua, menurutnya, tidak mampu bersikap tegas dalam menerapkan aturan yang telah disepakati bersama, sehingga sering terjadi pelanggaran yang berujung pada kebebasan melanggar. Hal ini harus diatasi dengan kebiasaan untuk taat kepada aturan. Dalam praktiknya, menurut Ipah, suaminya sangat disiplin sekali. Selalu tepat waktu.
Hal ini mungkin dipengaruhi oleh beragamnya kegiatan yang ditekuni Azyumardi. Dengan kegiatan seabreg, maka kedisiplinan mengelola waktu merupakan kunci keberhasilan.
Ditunggu Tugas
Sekembali ke Indonesia, 1996, tugas-tugas keilmuan pun menunggu. Azyumardi diserahi tugas sebagai wakil direktur Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) di Jakarta.
Ia juga dipercaya menjadi dosen tamu pada University of Philippines (1997) dan Universiti Malaya (1997). Aktif sebagai anggota pada SC SEASREO (Souhteast Asian Studies Regional Exchange Program) Toyota Foundation & The Japan Foundation (1998 sampai sekarang). Selain itu, ia termasuk salah seorang pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS).
Belum lagi genap setahun di PPIM, Prof. Dr. HM. Quraish Shihab, rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, kala itu, meminta Azyumardi terlibat dalam kepemimpinan IAIN. "Saya sempat menolak. Saya lebih senang menjadi independent scholar, menjadi pengamat atau peneliti saja. Saya beberkan sederet alasan, sampai sembilan poin, tapi tidak satu pun diterima Pak Quraish," jelas Azyumardi. "Tapi nggak tahulah, saya sebenarnya lebih senang begini ketimbang jadi birokrat, " tuturnya menanggapi tawaran tersebut.
Quraish Shihab berkeras meminta Azyumardi menduduki jabatan Pembantu Rektor I yang menangani masalah akademik. Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya dia terima kehormatan itu sebagai amanat yang harus dia jaga dengan penuh komitmen dan istiqamah. Lalu, ia diangkat menjadi Pembantu Rektor 1 sejak Februari 1998.
Jadi Rektor
Awalnya, semua itu di luar cita-cita dan kemauan Azyumardi. Tapi, akhirnya dia menjadi seorang birokrat di lingkungan IAIN. Ia harus menjaga amanat tugas di jalur birokrasi.
Pada 14 Oktober 1998 menjadi tahun yang cukup bersejarah bagi Azyumardi. Karena pada saat itulah, untuk pertama kalinya, ia dikukuhkan sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menggantikan Quraish Shihab (yang bertugas sebagai Dubes RI di Mesir).
Untuk kedua kalinya, Azyumardi terpilih kembali menjadi rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam pemilihan rector, ia mengungguli beberapa calon lainnya. Dan kini, 2002, ia juga ditugasi untuk menjadi Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, yang sebelumnya dipegang oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid.
Kesannya, perjalanannya untuk menjadi orang nomor satu di IAIN Jakarta berjalan mulus dan lancar karena tidak diwarnai protes mahasiswa maupun staf pengajar di perguruan tinggi tersebut. Azyumardi dinilai memang pantas untuk menduduki jabatan itu.
Ia dipercaya menjadi pucuk pimpinan di IAIN Jakarta dalam usia yang relatif muda, bila dibandingkan para rektor sebelumnya. Namun pendidikan dan pengalamannya cukup mendukung keberadaannya sebagai rektor. Setidaknya dia memang tahu persis seluk beluk perguruan tinggi ini karena sejak mahasiswa ia sudah aktif di sini. Mungkin inilah salah satu contoh bentuk pencapaian yang hanya merupakan by implication, yakni merupakan komitmen terhadap prinsip hidupnya semata. "Saya tidak berani bertepuk dada, dan hanya bisa mengembalikan semuanya kepada Dia Pengatur Segalanya," katanya merendah.
Dipilihnya Azyumardi sebagai rektor tentunya bukan tanpa alasan. Di lingkungan akademika IAIN Jakarta sendiri, Azyumardi selain dikenal sebagai seorang akademisi yang memiliki integritas keilmuan mumpuni, juga dinilai menjaga hubungan baik dengan sesama kalangan akademisi lainnya.
Di tangannya, IAIN Jakarta--yang populer disebut Kampus Pembaharu--memang belum banyak perubahan berarti. Hal ini dimaklumi, lantaran ia sendiri belum lama menjabat sebagai rektor. Namun begitu, menurut Azyumardi, bukan berarti pula dirinya tak punya obsesi untuk memajukan IAIN.
Malah sebaliknya di tangan Azyumardi tersimpan setumpuk gagasan besar agar citra IAIN sebagai institusi Islam bisa menjadi lokomatif pembaharuan, khususnya di bidang pemikiran Islam, baik di Indonesia maupun di dunia internasional, termasuk dunia Islam. "Untuk tahap ini, secara akademik saya sedang berupaya menghapus kesan dikhotomis antara ilmu agama dan ilmu umum, saya mencoba mengintegrasikannya," tukas Azyumardi.
Sebagai pemegang jabatan tertinggi di lingkungan IAIN Jakarta, ia membawa misi mengembangkan IAIN menjadi perguruan tinggi yang tidak hanya mengajarkan dan menjadi pusat pengembangan ilmu agama, tetapi juga ilmu humaniora, ilmu sosial, dan ilmu eksakta. Melalui konsep transformasi atau konvensi, IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), diharapkan ketiga bidang ilmu tersebut akan dikembangkan di IAIN secara seimbang.
Dan, pada masa kepemimpinannya, status IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, secara resmi berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, sejak 20 Mei 2002.
Menurut Azyumardi, sebetulnya tidak mudah mengubah IAIN ke arah kawah candradimuka pembaharuan pemikiran Islam. Banyak hal yang harus terlebih dahulu dibenahi, misalnya sistem administrasi, orientasi materi perkuliahan maupun soal kesiapan SDM-nya.
Meski demikian, Azyumardi tampaknya masih menaruh optimis, karena kini SDM IAIN--terutama staf pengajarnya--sudah banyak lulusan S2 dan S3, dalam dan luar negeri. Kecuali itu, juga tak sedikit di antar mereka yang sudah menyandang guru besar. "Mudah-mudahan harapan untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih akademis dan intelektual ini tidak menjadi kendala bagi saya dalam melangkah," kata mantan aktivis mahasiswa ini, yakin.
Sebagai seorang akademisi, Azyumardi tidak hanya berkhidmat pada kehidupan sosial. Ia juga berkewajiban membimbing dan membina mahasiswa. Tugas ini membutuhkan jiwa pengabdian yang tulus dan murni, mengingat mahasiswa berada pada posisi yang strategis dalam masyarakat. Mereka adalah penyambung lidah rakyat terhadap pemerintahan, pengingat gerakan moral, juga wadah pembelajaran politik masyarakat. Selain itu, yang terpenting mereka adalah penerus sekaligus harapan bangsa.
Dalam kapasitas sebagai rektor IAIN, Azyumardi tetap optimistis terhadap gerakan mahasiswa. Namun di sisi lain, ia menyayangkan banyaknya kalangan akademisi yang disebutnya sebagai the best human recourses, banyak yang terjun ke politik praktis. Karena, bagaimana pun obyektifitasnya masih sangat dibutuhkan di dunia akademis.
Dipandang dari sudat pendidikan, fenomena tersebut tidak menguntungkan. Menurut Azyurmadi, hak politik pribadi seseorang tidak harus diekspresikan dengan keterlibatan langsung dalam politik, masih banyak garapan kaum intelektual dalam pemberdayaan masyarakat.
Menulis
Azyumardi adalah tokoh pemikir yang tak pernah diam. Obsesinya yang besar untuk mengubah pemikiran Islam di Indonesia, telah pula ditorehkan melalui karya-karya geniusnya, baik dalam bentuk tulisan artikel dan esei yang dimuat di berbagai media massa maupun sejumlah buku yang pernah di terbitkannya.
Azyumardi mengakui, hingga tahun 1999 ini, sudah lebih 13 buku yang diterbitkannya--sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Arab. Artikel substantifnya yang dipublikasikan secara internasional, antara lain, "Education, Law, Mysticisme; Constructing Social Realities", dalam Mohd. Taib Osman (ed.), Islamic Civilization in the Malay World, Kuala Lumpur & Istanbul, Dewan Bahasa dan Pustaka & IRCICA, 1997; "A Hadhrami Relegious Scolar in Indonesia: Sayyad Uthman", dalam U. Freitag & W.G. Clarence-Smith (eds.), Hadhrami Tranders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean 1950-1960, Leiden, E.J. Brill, 1977.
Pria serius dan punya rasa homur tinggi ini telah mengedit beberapa buku, antara lain, Islam dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan (Pustaka Panjimas, 1983), Perkembangan Modern dalam Islam (Yayasan Obor Indonesia, 1985), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Yayasan Obor Indonesia, 1984). Adapun karya terjemahannya, Mengenal Ajaran Kaum Sufi (Pustaka Jaya, 1984) dan Agama di Tengah Sekularisasi Politik (Pustaka Panjimas, 1985).
Azyumardi juga menulis buku serius dari disertasinya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung, Mizan, cet. ke-4, 1998), dan Pergolakan Politik Islam (Jakarta,Paramadina, 1996). Tahun 1999, Azyumardi menerbitkan enam buku terbarunya sekaligus, dan diluncurkan pada 21 September 1999. Keenam buku itu adalah Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Ciputat, Logos), Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta, Rajawali Pers), Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta, Paramadina), Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan dan Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan (Bandung, Rosdakarya—buku terakhir ini terpilih sebagai buku terbaik bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial, Yayasan Buku Utama 1999.
Pada 2000, ia menerbitkan dan meluncurkan buku kumpulan wawancaranya di beberapa media massa nasional dan internasional, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih (Bandung, Mizan)—lima buku terakhir diedit oleh Idris Thaha.
Saat ini, ia sedang menyiapkan tiga manuskrip bukunya berbahasa Inggris, yang sudah siap dicetak sebuah penerbit Singapura. Ketiganya berjudul Islam in Indonesia: Continuity and Changes in Modern World; Islam in Malay-Indonesian World; dan Islam, Ulama and the State System.
Pada 2002, ia kembali menerbitkan dan meluncurkan buku-buku terbarunya berikut. Antara lain; Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama); Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi; Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta, Penerbit Buku Kompas); Menggapai Solidaritas: Tensi antara Demokrasi, Fundamentalisme, dan Humanisme (Jakarta, Pustaka Panjimas); Konflik Baru Antar-Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas (Jakarta, Rajawali Pers);—semua buku ini diedit juga oleh Idris Thaha; Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, diterbitkan Mizan, Bandung—yang diterjemahkan oleh Iding Rosyidin Hasan dari makalah-makalah berbahasa Inggris.
Pada 2003, ia kembali menerbitkan buku barunya--buku terjemahan yang berasal dari tesis MA-nya di Colombia University, 1988. Buku berjudul Surau: Pendidikan Islam Tradisional di Tengah Modernisasi dan Transisi (Ciputat, Logos Wacana Ilmu), ini mengulas dan menganalisis tentang surau di Sumatera Barat. Buku yang juga diedit Idris Thaha ini dilengkapi dengan beberapa tulisan baru yang mengaitkan surau dengan fenomena munculnya pesantren di ranah Minang.
Malah di sela-sela kesibukannya sebagai rektor, ia masih produktif menulis--selain tentunya aktif menghadiri berbagai seminar di tingkat nasional maupun internasional. "Menulis bagi saya sebagai suatu keharusan." Karena dengan itu, tak berlebihan sekiranya Azyumardi dikenal di tingkat nasional tetapi juga internasional.
Kemampuannya menulis sejarah--khususnya perkembangan Islam--dengan data padat dan valid sudah teruji. Menurut seorang sumber, bahkan orang sekaliber Taufik Abdullah memuji bakatnya di bidang itu. Tetapi seringkali, konon, ia menolak disebut sebagai sejarahwan. Agaknya ini sangat beralasan.
Lukisan sejarahnya tak sekadar kisah kronologis yang kering dari tafsir atas setiap makna kejadian. Setidaknya pada beberapa bukunya terlihat betapa ia mampu dengan baik menghadirkan analisis menarik atas berbagai peristiwa sejarah. Sejarah kemudian menjadi tak sekadar kisah catatan atas lipatan waktu. Melainkan juga makna-makna yang memiliki signifikansi bagi upaya memproyeksi masa depan.
Sebenarnya, dunia tulis-menulis dikenal Azyumardi sejak mahasiswa. Sebelum lulus dari IAIN Jakarta, Azyumardi telah terjun di dunia jurnalistik, yaitu menjadi wartawan pada majalah Panji Masyarakat. Di majalah inilah, ia berkenalan dan mempertajam dunia pemikiran Islam.
Di bidang jurnalistik, Azyumardi termasuk penulis yang produktif. Sampai saat ini, dia masih punya agenda khusus, paling tidak, dalam sehari, ia harus menulis. "Itu membutuhkan disiplin sebab seharian menulis di kamar juga membosankan," ujarnya menjelaskan.
Dan, ketika menjadi dosen di almamaternya, tradisi tulis-menulis itu terus diasah, dan semakin tajam. Selain menekuni pekerjaan sebagai dosen, ia juga menjadi anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran, Islamika, dan Editor-in-Chief Studia Islamika.
Pengalaman Keagamaan
Sebenarnya pengalaman keagamaan Azyumardi ketika kecil tergolng miskin atau bahkan kering. Ini tidak terlepas dari kondisi lingkungan keagamaan tempat dia lahir dan dibesarkan. Ia lahir dari keluarga Minang yang kuat sekalu kemuhamadiyahannya. Seperti kita ketahui, Muhammadiyah adalah kelompok modernis yang, dalam istilah dia, sangat menonjol kesahajaannya dalam beragama. Dalam tradisi Muhammadiyah, takhayul, bid'ah, dan khurafat ditentang keras. Akibatnya, berbeda dengan kalangan Nahdlatul Ulama, warga Muhammadiyah cenderung kurang apresiatif terhadap ibadah ritual.
Kebetulan pula dia berbeda dengan orang-orang Minang pada umumnya. Menurut tradisi, anak-anak Minang mendapatkan pendidikan agamanya di surau atau di langgar. Khususnya anak lelaki, setiap hari mereka mesti pergi ke surau, menginap di sana untuk belajar mengaji dan shalat. Sedangkan dia tidak. Pelajaran agama dia terima dari ibunya sendiri, di rumah. Ibu lulusan madrasah Al-Manar, sekolah yang juga didirikan kalangan modernis Sumatera Barat, yang terang-terangan dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Rasyid Ridha dari Mesir, yang lagi-lagi terkenal sangat bersahaja dalam beragama.
Suasana keberagamaan seperti itu terus berlanjut sampai dia pindah ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Di IAIN Jakarta, dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi kemahasiswaan yang juga tidak menekankan pengalaman ibadah ritual. Jadi, pengalaman keagamaan dia sejak kecil hingga beranjak dewasa memang sangat bersahaja, kering, jauh dari pernak-
pernik yang mengesankan.
Menjadi Tradisionalis
Barulah ketika dia menempuh pendidikan pasca sarjana, untuk meraih gelar MA dan Ph.D., dia merasakan ada perubahan yang cukup besar dalam pengalaman keagamaan dia. Yaitu ketika dia mendalami Islam bukan dengan pendekatan dogmatis, tetapi historis. Konsentrasi studi saat itu memang sejarah Islam, lebih khusus lagi mengenai tradisi ulama. Ia sangat tertarik dengan kecenderungan para ulama yang sufistis. Sejak itulah dia mulai banyak mempelajari ilmu tasawuf dan menemukan keasyikan sendiri di sana.
Kecenderungan keagamaan dia pun bergeser. Kalau dulu begitu bersahaja, kering, sebagaimana umumnya tradisi kaum modernis, dia kini merasa lebih bisa mengapresiasi tasawuf beserta amalan-amalannya yang sangat berwarna. Dia bahkan meyakini bahwa betapa pentingnya tasawuf itu bagi kehidupan ini. Akibatnya, tidak jarang dalam seminar-seminar atau forum-forum diskusi, teman-teman dari kalangan Muhammadiyah terheran-heran melihat corak pemikirannya yang mungkin mirip-mirip NU.
Vidio Sejarah
Dengan pemahaman keagamaan seperti itu, pada 1991, dia berkesempatan mengunjungi Arab Saudi. Satu hal yang sangat berkesan sesampainya dia di sana ialah munculnya keharuan dalam dirinya. Dia menyadari di tempat yang dia injak itulah Rasulullah pernah bersusah payah menegakkan Islam. Semua kenangan itu seolah menjelma menjadi sebuah buku, film, atau video, memperlihatkan bagaimana Rasulullah dan para sahabat berjuang mengadakan pencerahan di tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Sejarah pertumbuhan Islam yang telah dia pelajari seakan hidup kembali dalam rangkaian-rangkaian kisah yang sangat nyata.
Dia juga bisa membayangkan bagaimana suasana dan keadaan abad ke-17, ketika para ulama Indonesia mulai berdatangan dan belajar di sana. Dalam keadaan yang penuh keterbatasan, jauh berbeda dengan sekarang yang serba mudah, mereka berjuang menimba ilmu agama untuk kemudian kembali menyebarkannya ke Indonesia. Untuk sampai ke Makkah saja mereka harus melalui perjalanan laut berbulan-bulan. Tidak sedikit yang tidak sempat sampai ke Tanah Suci karena keburu wafat di tengah perjalanan. Sungguh perjalanan pencarian ilmu yang sangat berat. Saat itulah dia merasakan betapa yang telah dia lakukan selama ini tidak ada apa-apanya. Mereka, para ulama pendahulu kita, sungguh luar biasa.
Ketika melihat Al-Masjid Al-Haram, Ka'bah, bukit Uhud, dan lokasi jejak-jejak sejarah lainnya, dia merasakan kesedihan yang sangat, kecuali keasyahduan yang dalam. Melihat jejak-jejak sejarah, seakan-akan melihat lintasan perkembangan Islam yang hidup.
Ya, betapa gerakan pembaruan Wahabi di Arab Saudi begitu bersahaja dalam memandang ajaran agama telah membuat kita kehilangan bukti-bukti sejarah yang begitu penting dan banyak. Barangkali yang tertinggal hanya masjid-masjid dan Ka'bah, sementara yang lainnya harus dimusnahkan dengan alasan menghindari bid'ah dan khurafat. Tidak ada lagi bekas tempat Rasulullah dibesarkan oleh pengasuhnya yang penuh kasih, Halimatus Sa'diyah. Tidak ada lagi kuburan para sahabat yang begitu besar jasanya bagi perkembangan Islam. Tidak ada lagi situs-situs yang kita butuhkan untuk merekonstruksi sejarah permulaan Islam. Sungguh suatu hal yang amat menyedihkan.
Neosufisme
Pandangan keagamaan yang lebih apresiatif terhadap ritual ibadah dan diwarnai dengan tasawuf ternyata memang lebih semarak dan kaya. Dalam menjalani kesibukan sehari-hari, misalnya, dia senantiasa berupaya melaksanakan prinsip-prinsip qanâ’ah--sikap merasa puas dan sudah cukup dengan apa yang ada-sabar, tanpa harus menjadi pasif alias tetap melaksanakan aktivitas sebaik-baiknya. Aktivisme tetap kita pegang, sementara qanâ’ah kita butuhkan sebagai pengimbang agar kita tidak ngoyosehingga akhirnya stres.
Azyumardi juga sangat percaya kepada takdir. Bahwa perjalanan hidup kita tidak bisa direncana-rencanakan karena Allah jualah yang menetapkan semuanya. Yang bisa kita lakukan, paling-paling, adalah melakukan apa yang sudah menjadi tanggung jawab kita dengan sebaik-baiknya. Itu saja. Dia yakin betul, kalau prinsip itu kita jalankan, insya Allah hasilnya baik. Allah Mahaadil.
Makanya, setiap kali dia ditanya bercita-cita apa, pasti selalu menjawab, "Tak punya cita-cita apa pun."  Dia hanya melakukan apa yang menurut dia baik dengan sebaik-baiknaya. Selebihnya, dia serahkan kepada Allah.
Bagi Azyumardi cita-cita bukanlah hal krusial dalam hidup. Lebih-lebih bersifat obsesi. Baginya, prinsip hidup lebih penting daripada cita-cita. Karenanya, bekal perjalanan hidupnya adalah komitmen dalam menjalankan prinsip: Apa yang dikerjakan hari ini labih baik dari kemarin. Dalam berprinsip, Azyumardi agaknya ingin meneladani hadis Nabi Muhammad Saw.
Dengan menjalankan prinsip sebaik-baiknya, maka pencapaian terhadap sesuatu hanyalah merupakan implikasi dari komitmen tersebut. Bukan merupakan suatu keinginan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Azyumardi, yang mengaku tidak punya cita-cita ini, justru menjadi figur yang dicita-citakan seseorang.
Itulah prinsip Azyumardi, dalam pemahaman dia, yang disebut tawakkul--diindonesiakan menjadi tawakal--dalam Islam. Tawakal bukan berarti pasrah kepada Allah tanpa mempedulikan sunnah-Nya. Tawakal itu adalah trust in God, percaya bahwa Allah pasti memberikan yang terbaik selama kita berbuat yang terbaik. Maka orang-orang yang bertawakal pasti selalu berusaha melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Keyakinan itu dia ekspresikan dengan zikir bismillâhi tawakkaltu `alâ Allâhi lâ haula wa quwwata illâ billâhi--dengan nama Allah aku bertawakal kepada-Nya, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin-Nya--yang selalu dia ulang-ulang dalam berbagai kesempatan seakan telah menjadi pegangan. Dengan kalimat tawakkaltu itu dia selalu merasa lebih yakin, merasa mendapatkan kekuatan lebih dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada.
Azyumardi juga meyakini perlunya sikap uzlah, pengasingan diri, bagi setiap pribadi Muslim di zaman modern ini. Uzlah itu tidak berarti kita harus memencilkan diri dari kehidupan ramai, ke tengah hutan atau tempat sepi lainnya, dan melupakan dunia ramai. Bukan. Tetapi lebih tepat kita artikan sebagai upaya mengambil jarak, secara nilai, dari kehidupan dunia sehingga kesucian rohani kita tetap bisa dijaga dari pengaruh-pengaruh yang merusak. Kalau sudah uzlah, ya uzlahnya dalam masyarakat ramai. Karena di situlah terdapat kesimpangsiuran nilai, yang satu sama lain lebih sering tidak cocok.
Misalnya nilai-nilai konsumerisme yang menggoda kita setiap hari. Sejak menjadi rektor IAIN Jakarta, dia dan istri selalu saja mendengar saran agar mau berpakaian begini, seharga ini, mengubah penampilan, supaya terlihat lebih elite, dan seterusnya. Dia tidak pantas lagi mengenakan batik seharga Rp 75.000, kata mereka, minimal Rp 500.000. Berbahaya sekali, bukan?
Tanpa uzlah, kemungkinan dia terperosok. Dan tidak mustahil asal-muasal rusaknya pribadi dan masyarakat kita karena ketidakmampuan melakukan uzlahterhadap godaan-godaan materialisme seperti itu. Kita terdorong untuk melakukan korupsi, menghalalkan segala cara, guna menemuhi kebutuhan sesaat. Itulah perlunya sikap uzlah. Dengan sikap itu, Azyumardi bisa tetap bertahan meski godaan-godaan seperti itu semakin gencar.
Pandangan hidup itu, dalam berbagai tulisannya, dia sebut dengan istilah neosufisme. Tasawuf yang tidak membuat kita asyik dengan kehidupan keakhiratan semata, tapi justru mendorong kita lebih aktif meraih sukses di dunia modern yang supersibuk ini.
Jakarta, 6 Desember 1999
Penyusun: Idris Thaha
Bahan Rujukan:
"Uzlah Di Tengah Keramaian", Panji Masyarakat, No. 51/Tahun II/7 April 1999.
"Mengkhawatirkan Elite Politik yang Provinsialistik", Pelita Bangsa, Sabtu, 27 Februari 1999.
"Membimbing Mencintai Ilmu", Amanah, No. 39/Tahun XII.
"Obsesi Seorang Pemikir Kampus", Siar, No. 35/20-26 September 1999
"Pak 'Karmiyus' Itu Kini Menjadi Rektor", Ikhlas Beramal, No. 06/Tahun I/1 Maret 1999.
"Disebutnya Demokraasi Pinjaman atau Gelang Karet" dan "Mengagumi Fachry Ali, Dipuji Taufik Abdullah", Merdeka, Minggu, 5 Oktober 1997.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA:
Permata Hijau Pemikir Islam

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, ini perlahan namun pasti semakin kokoh sebagai pemikir Islam pembaharu. Pemilik nama Azyumardi Azra yang mempunyai arti mendalam sebagai “permata hijau”, tak kurang telah menulis sembilan buku tentang Islam. Koleksi bukunya sudah mencapai 15.000 judul buku. Namanya pun diapit lengkap oleh gelar Prof., Dr., dan MA.

Menurut pengakuan pria Minangkabau kelahiran Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955 , ini perjalanan hidupnya mengalir begitu saja, seperti air. Sikap intelektualnya pun bertumbuh alami dari awal seiring dengan komunitas diskusi yang dimasukinya. Ketika masih mahasiswa, komunitas intelektualnya adalah Forum Diskusi Mahasiswa Ciputat (Formaci), kemudian HMI di lingkungan Ciputat, lalu meningkat ke LP3ES, bahkan sampai ke LIPI sebelum melanglang buana ke mancanegara. Sekarang daya nalar intelektualnya dibutuhkan dimana-mana sebagai rujukan untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa.

Azyumardi Azra kini dikenal pula sebagai profesor yang ahli sejarah Islam dan nilai-nilai hidup Nabi Muhammad. Sejak tahun 1998 hingga sekarang dia adalah rektor pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang sejak Mei 2002 lalu berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

Pada awalnya sesungguhnya Azyumardi tidaklah berobsesi atau bercita-cita menggeluti studi keislaman. Sebab, dia lebih berniat memasuki bidang kependidikan umum di IKIP. Adalah desakan ayahnya, yang menyuruh Azyumardi masuk ke IAIN sehingga dia kini dikenal sebagai tokoh intelektual Islam masa depan. Dia lahir dari ayah Azikur dan ibu Ramlah.

Azyumardi lulus dari Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta pada tahun 1982. Pada tahun 1986 memperoleh beasiswa Fullbright Scholarship untuk melanjutkan studi ke Columbia University, Amerika Serikat. Dia memperoleh gelar MA (Master of Art) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah pada tahun 1998. Kemudian, memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA lain di tahun 1989, kemudian gelar Master of Philosophy (Mphil) di tahun 1990, serta doktor Philosophy Degree (PhD) di tahun 1992 dengan disertasi berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian `Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi ini bahkan telah dipublikasikan oleh Australia Association of Asian Studies bekerjasama dengan Allen Unwin.

Kembali ke Jakarta, di tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Kembali melanglang buana, pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada University of Philippines, Philipina dan University Malaya, Malaysia keduanya di tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.

Di tahun 2001 Azyumardi Azra memperoleh kepercayaan sebagai profesor tamu internasional pada Deparmen Studi Timur Tengah, New York University (NYU). Sebagai dosen, dia antara lain mengajar pada NYU, Harvard University (di Asia Center), serta pada Columbia University. Dia juga dipercaya menjadi pembimbing sekaligus penguji asing untuk beberapa disertasi di Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, maupun di University of Leiden.

Suami dari Ipah Fariha serta ayah empat orang anak, Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra ini, juga aktif mempresentasikan makalah pada berbagai seminar dan workshop setingkat nasional maupun internasional. Pria yang pernah tercatat sebagai wartawan “Panji Masyarakat” di tahun 1979-1985 ini, telah menulis dan menterbitkan buku antara lain berjudul Jaringan Ulama (Tahun 1994), Pergolakan Poitik Islam (1996), Islam Reformis (1999), Konteks Berteologi di Indonesia (1999), Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999), Esei-esei Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim (1999), Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, dan buku Islam Substantif (tahun 2000).

Pehobi joging dan menonton pertandingan sepakbola ini awalnya menampik sebagai pimpinan kampus, terutama ketika ditunjuk menjadi Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik. Namun dia sadar, adalah kampusnya itu yang telah membentuk kadar intelektualnya, yang telah pula mengirimnya sekolah kemana-mana sehingga semuanya dianggapnya sebagai utang. Kesediaan menjadi Purek ternyata bermakna lain, menjadi sinyal bagi sejawatnya bahwa jika dipercayakan sebagai rektor dia pasti tidak bisa menolak. “Itu saya sebut sebagai musibah,” katanya suatu ketika, menanggapi penunjukannya sebagai rektor.

Dia pun lantas memperlebar makna kampusnya, dari IAIN manjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah sejak Mei 2002 lalu. Perubahan itu disebutkannya sebagai kelanjutan ide rektor terdahulu Prof. Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis, dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja. Itulah sebabnya, kata pemilik 12 ribu mahasiswa itu, untuk mencapai ide tersebut institusinya harus dibenahi agar ilmu umum dan agama bisa saling berinteraksi. Dan satu-satunya cara adalah mengembangkan IAIN menjadi universitas sehingga muncullah fakultas sains, ekonomi, teknologi, MIPA, komunikasi, matematika, dan lain-lain.

Azyumardi juga ingin agar wawasan keislaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keindonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keislaman yang akan kita kembangkan itu adalah keislaman yang konstekstual dengan Indonesia karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia,” ujarnya. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berfanatisme dan bermadzhab, berbeda dengan anak-anak yang memahami agama secara literer yang cenderung hitam putih
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Wawancara (2)
Kokohkan Diri Pembaharu Islam
 
Ketokohannya sebagai pembaha-ru Islam Indonesia semakin mantap dan strategis. Dia kini guru besar sekaligus Rektor di almamaternya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sudah ber-ubah nama men-jadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatul-lah, Jakarta. Kemurnian berpi-kir, sehingga pendapatnya sering menjadi rujukan sekaligus sebagai ‘pemadam kebakaran’ atas berbagai potensi konflik yang mungkin terjadi.

rof. Dr. Azyumardi Azra, MA dahulu tahun 1978 adalah aktivis mahasiswa dan intelektual muda yang gencar membangun wacana pemikiran tentang Indonesia, Pembangunan dan Islam. Dia pernah bersikap berani menggelar demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Presiden Soeharto yang dinilai semakin represif terhadap mahasiswa, gencar melakukan Golkarisasi di kampus serta memecat dosen-dosen IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang anti pemerintah. Aktivitasnya yang berlangsung saat Sidang Umum MPR itu ditindas aparat keamanan dengan merangsek menyerbu kampusnya yang terletak di kawasan Ciputat. Kampus didobrak dan banyak mahasiswa berlumuran darah.

Dia lalu merasa bersalah dan trauma sebab tak tega melihat akibat gerakannya, banyak teman-temannya digebukin. Gerakannya lalu bergeser murni ke gerakan intelektual. Dia mematangkan diri sebagai tokoh pembaharu Islam dengan mengambil studi tingkat master hingga doktor ke Columbia University, satu dari 10 universitas paling top di Amerika Serikat, antara tahun 1986 hingga 1993.

Dia menyebut penunjukannya sebagai Rektor IAIN pada 14 Oktober 1998 sebagai “musibah”. Sebab dia tidak menyukai birokrasi yang serba struktural. Dia menyebut birokrasi tak cocok di lingkungan universitas.

Tanpa banyak publikasi, dalam tempo beberapa tahun, dia berhasil mengubah wajah IAIN itu, yang disimbolkan dengan perubahannya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dia berhasil menggandeng Bank Pembangunan Islam (Islam Develoment Bank/IDB) dan Pemda DKI Jakarta membangun total 18 gedung perkuliahan baru bertingkat dua hingga tujuh, berikut prasarana dan sarana secara lengkap. Bersama sebuah lembaga dari Jepang, tahun 2005, dia berencana membuka Fakultas Kedokteran disertai kelengkapan rumah sakit praktek.

Dia mengubah UIN dari eksklusif menjadi inklusif. Ilmu agama murni diintegrasikan dengan ilmu-ilmu sekuler. Dengan kelengkapan disiplin ilmu, ditambah jumlah 17.000 lebih mahasiswa yang direkrut dari siswa-siswa terbaik seluruh Indonesia berdasarkan seleksi penerimaan yang kompetitif, bukan mustahil dalam waktu singkat ke depan, UIN akan menjadi pusat keunggulan pendidikan tinggi ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.

Perjalanan hidupnya mengalir begitu saja. Dia menyebutkannya sebagai sebuah koinsidensi-koinsidensi yang saling mempengaruhi yang melejitkan namanya semakin kokoh sebagai tokoh pembaharu Islam Indonesia. Dia tak pernah ngoyo dalam melakukan segala sesuatu kecuali berbuat maksimal untuk setiap tugas dan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.

Dia juga konsisten sebagai pengajar, sebagai dosen hingga guru besar , tak pernah bekerja di tempat lain sebab memang dia berasal dari kampus dan dibesarkan di situ. Posisi murni sebagai intelektual bukan berarti tak punya warna dan sikap politik. Golput, misalnya, adalah sikap politik yang menurutnya kurang bertanggungjawab sebab demokrasi saat ini masih perlu dibangun. Karenanya, pasca kemunduran Pak Harto semua pihak harus bertanggung-jawab atas konsolidasi politik yang masih berlangsung. Walaupun dia memahami alasan orang menjadi golput, namun, menurutnya, sikap itu sebaiknya dihindari.

Maka tak salah, bila orang menyebutnya aset bangsa yang sangat berharga demi masa depan. Azyumardi, bukan tipe orang yang suka menyodor-nyodorkan diri.Melihat tipenya itu, kalaupun suatu ketika ditunjuk menjadi menteri, dia akan mungkin akan berpikir dulu, apakah dia sudah merupakan orang yang paling baik dan pas mengisinya.

Dia memang sangat bersahaja, tipikal seorang intelektual kampus sejati. Dia membesarkan UIN hanya bermodalkan keberanian mengajak semua pihak bermimpi besar. Kini sebagian besar mimpi itu sudah tercapai. Ia tinggal menata setumpuk gagasan menjadikan UIN itu, sebagai sebuah institusi Islam, menjadi lokomotif pembaharuan di bidang pemikiran Islam Indonesia maupun internasional.

Berikut perbincangan Wartawan TokohIndonesia DotCom dengan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, suami dari Ipah Farihah kelahiran Bogor 19 Agustus 1959 yang dinikahinya 13 Maret 1983 dan memberinya empat orang anak. Perbincangan berlangsung Sabtu 31 Juli 2004 di kampusnya yang asri, UIN Syarif Hidayatullah, Jalan Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, di Selatan Jakarta.

MTI: Anda bisa menceritakan tentang masa kecil di kampung halaman serta bentuk pengasuhan orang tua?
AZA: Ini, ceritanya panjang tapi mungkin saya tidak perlu cerita terlalu panjang. Salah satu buku tulisan saya mungkin bisa membantu, di sini banyak human interest-nya (katanya, sambil menyodorkan kopi salah satu bab buku karyanya, “Islam Substantif).

MTI: Tentang pengasuhan orangtua di masa kecil, nilai-nilai apa yang bisa Anda petik?

AZA: Yang pertama itu adalah disiplin, disiplin soal waktu disiplin soal belajar. Yang kedua adalah etos kerja. Orangtua saya sekali-kali mereka itu ngomong bahwa kita harus bekerja keras berusaha mencapai yang sebaik-baiknya. Itulah yang saya ambil dari kehidupan masa kecil orang tua yang selalu berusaha bekerja keras, tidak pernah menyerah, selalu menciptakan tantangan di dalam dirinya sendiri, itu yang menjadi kekuatan pendorong bagi saya.

Yang ketiga yang juga yang sangat berpengaruh adalah cinta pada ilmu. Jadi, orangtua saya itu meskipun tidak sekolah tinggi tapi mencontohkan kepada saya bahwa ilmu itu sangat penting. Oleh karena itu meskipun mereka susah dalam kehidupan tapi semua anak-anak mereka itu sekolah dan semuanya menjadi sarjana.

MTI: Yang paling dominan mendorong Anda hingga bisa menjadi seperti sekarang ini pendidikan dari orangtua atau contoh dari orang lain seperti Buya Hamka?

AZA: Oh ya tentu saja dari orangtua saya. Kalau dari Buya Hamka saya banyak belajar mencoba mengambil hikmah tentang sikapnya yang moderat, toleran, juga berpijak pada prinsip.

Saya itu selalu ada dorongan berusaha untuk memiliki etos kerja dan bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu tidak mau setengah-setengah, itu support dari orangtua. Jadi meskipun saya sibuk seperti sekarang ini, misalnya saya masih terus menulis makalah, artikel dan sebagainya, itu karena itu tadi etos kerja. Itu yang saya ambil dari pengalaman waktu kecil.

MTI: Merasa bersentuhan dengan konsepsi-konsepsi pemikiran Islam, itu mulai kapan?

AZA: Sebetulnya saya tidak pernah membayangkan seperti sekarang. Jadi, saya itu dari dulu hidupnya mengalir saja. Salah satu prinsip hidup saya biar saja mengalir seperti air. Bagaimana nanti yang penting kita berusaha sebaik-baiknya. Hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari besok lebih baik dari hari ini Itu saja prinsipnya. Saya tidak pernah punya cita-cita.

Tahun 1978 setelah terjadi huru hara d isini dulu dimana tentara masuk. Waktu itu saya masih tingkat II, mahasiswa digebukin, dosen-dosen digebukin, banyak yang berdarah-darahlah di kampus ini digebukin oleh tentara. Setelah itu tahun 1979 saya mulai menjadi reporter di majalah Panji Mas. Waktu itu Panji Mas masih dipimpin oleh Buya Hamka. Jadi saya berhubungan dengan Buya Hamka lebih pada soal-soal perkembangan Indonesia di Indonesialah.

Jadi, di kampus Ciputat ini saya mulai terlibat dalam kelompok-kelompok diskusi, aktif di HMI. Di HMI juga banyak diskusi. Dari situlah kemudian mengembara ke dalam berbagai bidang. Topik-topik diskusi pada waktu itu pada tahun-tahun terakhir 70-80 itu banyak membahas masalah pembangunan, Islam dan Pembangunan, agama dan pembangunan, agama dan modernisasi. Ya, itulah, mulai dari situ minat saya dan saya kemudian terus berkembang.

MTI: Anda cenderung berada di tengah menjadi pemikir Islam, bukan aktivis lembaga?

AZA: Ya, mungkin kecenderungan pembawaannya lebih ke dunia akademis, keilmuan, daripada menjadi aktivis baik itu di ormas maupun juga di politik. Itu, saya enggak aktif di situ. Dulu saya memang pernah menjadi Ketua Umum HMI cabang Ciputat tahun 1982-1983, tapi saya pikir, ya sudah saya stop itu kemudian menerjunkan diri ke dalam bidang keilmuan lebih intens.

Apalagi setelah saya tamat dari sini tahun 1983, kemudian sempat bekerja di LIPI selama 2 tahun yakni sampai tahun 1985. Tiga tahun setelah itu saya kembali mengajar di sini, dan kemudian baru terus kuliah S-2 dan S-3 di Amerika, New York, di Columbia University. Jadi ini mungkin kecenderungan saya, kecenderungan pribadi yang tidak tertarik pada politik.

MTI: Apakah itu berarti Anda tidak punya warna politik atau tidak diwarnai politik?

AZA: Oh ya, saya tentu punya sikap politik cuma tidak berafiliasi juga terlibat ke dalam politik itu. Misalnya pada pemilihan umum saya termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan sikap golongan putih atau golput. Apalagi jaman sekarang setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan kita mengembangkan demokrasi maka demokrasi di Indonesia ini masih perlu di konsolidasikan.

Untuk konsolidasi itulah maka warga negara mempunyai tanggung jawab untuk memperkuat demokrasi. Oleh karena itu menurut saya meskipun bisa saya pahami kenapa orang bisa menjadi golput tapi golput merupakan sikap yang kurang bertanggung jawab. Saya bisa memahami kenapa orang bisa golput, tapi hemat saya itu sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia.

MTI: Ketika memilih kuliah S-2 S-3 sasarannya hanya menjadi ilmuwan atau ada hal lain, sebab memilihnya ke Amerika bukan Kairo atau ke Timur Tengah?

AZA: Sebetulnya tidak terlalu terencana kuliah ke Amerika ataupun ke Mesir. Itu juga mungkin mengikuti jalan jalur perjalanan hidup saja. Meskipun dulu saya pernah aktif di kelompok diskusinya Dawam Saharjo di LP3ES waktu dia menjadi direktur di LP3IS tahun 1978, 1979 dan awal 1980. Saya sering terlibat diskusi dengan Mas Dawam terutama tema-tema tentang pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, modernisasi, kemudian juga tentang kepincangan-kepincangan pembangunan, teori-teori tentang centre dan marginal dan sebagainya, antara pusat dan pinggiran.

Kemudian kenapa ke Amerika saya kira itu kebetulan saja. Dalam pengertian, pada waktu itu Menteri Agamanya, Pak Munawir Sjadzali yang wafat minggu lalu (Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA adalah Menteri Agama tahun 1983-1993, tokoh yang lahir di Desa Karanganom, Klaten 7 November 1925, meninggal dunia 23 Juli 2004), dia kelihatannya menyadari betul pentingnya dosen-dosen IAIN yang pada waktu itu muda-muda seperti saya ini mendapatkan pendidikan khususnya pendidikan di Barat.

Rupanya Pak Munawir ini dalam pikirannya, karena Pak Munawir Sjadzali S-2-nya dari George Washington University melihat ada manfaatnya maka dia pengen dosen-dosen muda ini belajar ke Amerika. Maka kemudian melalui jaringannya dia mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan dubes Amerika pada waktu itu di Jakarta, Paul Wolfowitz yang sekarang menjadi Assisten Menteri Pertahanan. Nah, disitulah ceritanya sehingga kemudian tahu 1986 saya termasuk diantara 6 orang yang, melalui skema yang berhasil di program yang dibikin oleh Pak Munawir dengan Dubes Amerika Paul Wolfowitz.

Lima orang lainnya adalah Prof. Dr. Faisal Ismail sekarang Sekjen Departemen Agama, kedua Prof. Dr. Kodri Azizi Dirjen Kelembagaan Islam Depag, ketiga Dr. Mulyadi Kartanegara dosen di sini, keempat Prof. Dr. Din Syamsuddin Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Sekjen MUI dan dosen juga disini, kelima Dr. Toha dosen di Surabaya, dan keenam saya.

Jadi sekali lagi tidak direncanakan. Saya sering melihat apa yang saya capai itu pertama, karena koinsidensi. Koinsidensi sejarah, koinsidensi-koinsidensi di dalam perkembangan di lingkungan saya. Jadi ada koinsidensi saya tamat dari IAIN tahun 1983, menjadi dosen di sini walaupun sempat kerja di LIPI, kemudian ada Pak Munawir Sjadzali yang punya obsesi seperti itu, kemudian disini ada rektornya Prof. Harun Nasution almarhum juga punya keinginan-keinginan seperti itu. Jadi ada pertemuan-pertemuannya.

Menurut saya saya diuntungkan oleh keadaan. Saya merasa bahwa saya ini tidak pintar-pintar amat banyak orang lain yang lebih pintar dari saya tapi saya diuntungkan oleh keadaan, oleh koinsidensi-koinsidensi yang tadi itu. Misalnya ketika orang susah sekali mencari beasiswa tapi saya alhamdulillah dapat beasiswa untuk S-3 dari universitas saya sendiri. Dan itu tidak mudah untuk mendapatkan beasiswa di universitas itu, Columbia University itu merupakan salah satu universitas dari 1o universitas yang paling top di Amerika. Saya merasa koinsidensi-koinsidensi sering terjadi dalam kehidupan saya.

MTI: Tapi, koinsidensi itu masih selalu menguntungkan?
AZA: Ya, membuat saya itu mendapat banyak manfaat dan keuntungan dari situ.

MTI: Setelah pulang dari Amerika ada perubahan orientasi atau pemikiran misalnya lebih toleran, liberal, atau bagaimana?

AZA: Saya ‘kan belajar sejarah di Columbia itu. Saya punya master dua, Kajian Timur Tengah dan Bidang Sejarah, MA. Kemudian M.Sc dalam bidang sejarah juga. Dari sejarah itulah saya tidak hanya mengetahui teori-teori yang bersifat wacana-wacana spekulatif. Teori ‘kan spekulatif juga.

Tapi melihat betul secara historis apa yang aktual pernah terjadi dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia. Sehingga, itulah mungkin juga mempengaruhi cara pandang kita sehingga kita tidak bisa melihat itu secara black and white. Dalam kehidupan sosial khususnya dalam kehidupan sosial, politik, budaya, tidak bisa melihat hitam putih karena di dalam sejarah perjalanan kehidupan manusia itu banyak sekali faktor yang mempengaruhi orang untuk bertindak. Itulah mungkin yang mempengaruhi saya, seperti itu, dan saya merasa lebih konsisten dalam dunia akademis.

Nah setelah pulang saya diminta oleh Menteri Agama waktu itu, Tarmizi Taher, untuk mendirikan dan mengembangkan jurnal berbahasa Inggris Studia Islamika. Sampai sekarang saya masih Pemimpin Redaksinya. Islam di Indonesia ini kan kurang dikenal, jarang orang menulis dalam bahasa Inggris, tidak ada jurnal yang berbahasa Inggris. Jurnal ini bisa ditemukan di hampir seluruh pusat-pusat kajian tentang Indonesia dan tentang Islam di luar negeri, di perpustakaan-perpustakaan universitas dan pusat-pusat kajian di luar negeri.

Waktu ini saya hanya dibekali modal komputer butut, gedung kantor yang enggak memadai, tapi saya tetap bertahan. Sejak pulang dari luar negeri tidak pernah bekerja di instansi lain saya hanya di sini saja dari dulu. Awal-awalnya susah tapi saya punya prinsip begini, kita harus mengerjakan sesuatu itu tidak bisa setengah-setengah. Jadi harus punya komitmen, enggak bisa ini kita pegang, ini kita pegang, sehingga akhirnya semuanya enggak ada yang jadi. Jadi harus ada satu yang kita pegang terus sampai jadi.

MTI: Kalau dilihat dulu harus menulis untuk dapat menutupi kebutuhan dasar tapi sekarang malah menjadi rektor, apakah pencapaian itu sudah mencukupi?

AZA: Ya, saya sesungguhnya orang yang tidak ngoyo saya hanya ingin berbuat. Tapi, berbuat namun tidak memaksakan diri apalagi memaksakan orang lain. Jadi tahun 1993-1994 mendirikan jurnal, tahun 1994 -1995 saya ke Inggris di Oxford University ikut program Doktoral. Saya pulang ke sini, kembali lagi mengelola Studia Islamika, dan kemudian di Lembaga Riset UIN yaitu Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Apa doktor dari luar negeri terus harus memegang posisi lebih dari orang lain? Saya enggak begitu. Jadi saya tetap saja mengelola jurnal, biasa saja, enggak banyak menuntut macam-macam kepada IAIN.

Saya juga pernah menolak jabatan, ditawarin jadi ketua jurusan dan lain sebagainya saya menolak. Biarlah saya selesaikan dulu jurnal ini mungkin ini memberikan kontribusi tertentu bagi IAIN. Tahun 1997 saya diminta oleh Pak Quraish untuk menjadi PR I itu juga saya tolak dengan berbagai alasan, mungkin ada enam atau tujuh alasan untuk tidak menerima.

MTI: Tapi, kesediaan akhirnya Anda menerima jabatan Purek diangggap orang pula sebagai pertanda kesediaan menjadi calon rektor di kemudian hari?

AZA: Saya malah bilang ke Pak Quraish, salah satu alasan saya tidak menerima ini adalah takut saya kebablasan. Bukan saya saja yang kebablasan tapi orang lain juga kebablasan.
Nah orang melihat saya berbuat maksimal mungkin ada satu hasilnya, orang punya harapan akhirnya memilih saya. Jadi orang lain kebablasan memilih saya, kebablasan menaruh harapan kepada saya. Dan itu terbukti. Ketika Pak Quraish ditarik jadi Menteri kemudian ada pejabat sementara di sini yakni Prof. Achmad Sukarja menyiapkan pemilihan rektor dan kemudian saya terpilih. Bukan hanya sekali, setelah habis masa jabatan tahun 2002 dipilih lagi, kebablasan.

Hasil yang dicapai di sini ada beberapa. Pertama, kampusnya hampir seluruhnya baru, kemudian sudah berubah dari IAIN menjadi UIN yakni universitas, dan mahasiswanya dari lima ribu sekian ketika saya pertama kali menjadi rektor, sekarang sudah 17.000-an karena banyak program baru, fakultas-fakultas baru dibuka.

MTI: Apakah Anda tidak takut kebablasan akan ekspektasi masyarakat meminta Anda salah satu anggota kabinet, misalnya?

AZA: Ya, yang pertama seperti yang memang pembawaan pribadi saya bahwa saya tidak akan pernah menyodor-nyodorkan diri, memperdagangkan diri sendiri. Jadi saya harus kembali pada prinsip saya, itu biarkan saja mengalir.
Kalau memang ada orang yang melihat saya itu pantas misalnya mengerjakan sesuatu hal yang lain, ya saya akan lihat dulu apakah saya kira-kira punya kemampuan untuk mengerjakan itu. Jadi harus dilihat dulu tidak bisa dengan serta merta saya mengatakan, “Oh ya, saya bersedia.”
MTI: Tapi kalau ternyata masih ada koinsidensi tentu Anda harus loyal pada atasan?

AZA: Ya, itulah kadang-kadang saya enggak bisa berbuat apa-apa meskipun yang punya diri itu saya sendiri. Tapi pada akhirnya ternyata diri kita tidak bisa di tentukan oleh diri kita sendiri ada faktor-faktor lain. Ya, itulah yang dinamakan takdir. Ada kejadian-kejadian seperti yang tadi saya sebut historical coincidence yang tidak bisa dielakkan. Meskipun kita mengelakkan tapi enggak bisa karena berbagai-bagai faktor.

MTI: Sepertinya Anda seorang yang persfeksionis sehingga tidak begitu saja menerima tugas kepercayaan orang?

AZA: Ingin sesuatu itu terbaik, gitu, perfek bukan seratus persen sempurna. Saya juga memahami kalau orang-orang punya kekurangan. Jadi kepada mahasiswa S-1, S-2, maupun di S-3 kalau saya bersikap perfeksionis maka mahasiswa saya itu banyak yang enggak lulus atau nilainya jelek-jelek.
Jadi, anda lihat kampus ini bersih, rapi, dan lain sebagainya itu karena saya ingin yang terbaik. Memang belum sempurna di sana-sini. Itulah yang saya bilang dengan konsistensi, tidak setengah-setengah. Jadi, saya masih suka keliling lihat kebersihan, mencontohkan kepada karyawan bagaimana seharusnya kebersihan itu.

MTI: Ketika dahulu menerima jabatan Rektor ada kondisi-kondisi yang Anda ajukan sebagai prasyarat. Bisa dijelaskan apa saja perubahan lain yang sudah terjadi?

AZA: Ya, waktu saya diangkat menjadi rektor kemudian melakukan pertemuan pertama dengan senat, saya bilang saya enggak menjanjikan apa-apa tapi mari kita sama-sama. Itu yang pertama, dan yang kedua, mari kita bermimpi. Kita harus berani bermimpi.

Dari mimpi yang besar itulah kemudian nanti yang kita coba wujudkan secara bersama-sama. Kita harus berani bermimpi. Bermimpi saja enggak berani apalagi melakukan sesuatu. Jadi, itu saja kata kuncinya. Ya, memang membangkitkan etos, mendorong memiliki inner driver, dorongan dari dalam.
Alhamdulillah pembangunan kembali kampus ini sudah selesai. Kita punya kampus di sini Kampus I dan Kampus II. Kita punya fakultas-fakultas yang semakin kompetitif, tidak mudah masuk. Beberapa jurusan sangat kompetitif, seperti Psikologi hanya 1 dari 10 yang mendaftar yang diterima. Kemudian jurusan Teknologi Informatika hanya 1 dari 15 pendaftar yang bisa diterima.

Total mahasiswa sekarang 17. 000-an. Terus fakultas terakhir adalah Fakultas Kedokteran, belum semua jurusannya ada. Yang baru menerima mahasiswa tahun ini adalah jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, peminatnya juga besar. Kita hanya terima 80 tapi yang daftar dekat-dekat 1.000. Itupun baru satu jalur penerimaan yaitu SPMB lokal belum yang nasionalnya. Dalam waktu dekat juga akan dibuka Jurusan Farmasi. Juga dalam waktu yang tidak terlalu lama Jurusan Ilmu Kedokteran dan Ilmu Keperawatan.

MTI: Calon mahasiswa itu menurut pengamatan Anda sudah merupakan siswa terbaik di sekolah asalnya?

AZA: Ya siswa terbaiklah, kalau tidak siswa terbaik mereka tidak akan bisa masuk ke situ. Susah mereka masuk. Terbaik karena sangat kompetitif.

MTI: Kalau boleh tahu, masih adakah mimpi baru Anda tentang kampus ini?

AZA: Sekarang mimpinya sebagian sudah terlaksana. Mimpi kita sekarang adalah membuat salah satu fakultas kedokteran yang terbaik di Indonesia ini. Oleh karena itu kita sekarang sedang merancang fakultas kedokteran yang juga memiliki rumah sakitnya sendiri, rumah sakit universitas dengan laboratorium yang lengkap dan lain sebagainya.

MTI: Mimpi yang lain?

AZA: Enggak ada mimpi yang lain, sementara ini enggak ada. Alhamdulillah karena mimpinya sebagian besar sudah menjadi kenyataan, jadi tinggal sedikit lagi.

MTI: Dengan nama IAIN terkesan ekslusif setelah menjadi Universitas Islam Negeri sudah mulai inklusif?

AZA: Ya, kita inklusif. Universitas ini inklusif meskipun ada nafas Islamnya, ya. Tapi ini universitas yang terbuka, negeri, terbuka untuk siapa-siapa. Yang beragama lain ada di sini sekarang. Kalau di Pasca itu ada calon pastor ada calon pendeta mengambil kuliah di sini. Di S-1 juga ada orang Kristen.

Dan kita punya kerjasama dengan dunia internasional. Mahasiswa-mahasiswa asing juga semakin banyak. Baru dua hari yang lalu kita terima surat dari sebuah perguruan tinggi di Malaysia mengirim mahasiswanya kesini 18 orang. Juga kita punya kerjasama program internasional dengan universitas-universitas luar. Karena saya percaya semua universitas di Indonesia ini bisa maju bisa terangkat ke tingkat internasional kalau kita kerjasama dengan dunia internasional. Kalau kita eksklusif tidak akan bisa maju.

MTI: Anda menggagas pemikiran demikian masih terkait dengan latar belakang studi historikal tadi?

AZA: Saya ‘kan pada dasarnya bukan orang birokrat. Sejak saya di sini menjadi rektor, anda boleh lihat hampir tidak ada orang yang berpakaian safari di sini. Saya sendiri tidak pernah punya sepotong pun pakaian safari sampai sekarang. Kenapa begitu? Karena safari itu adalah simbol birokrat. Birokrasi itu tidak cocok di universitas. Meskipun birokrasi diperlukan tapi kita tidak boleh menjadi seorang birokrat. Jadi simbol-simbol yang seperti itu enggak.

Saya juga pada dasarnya melarang memanggil saya Pak Rektor. Panggil nama saya saja. Jadi, jangan panggil nama saya Pak Rektor. Orang sini memanggil saya Pak Edi, atau Pak Azra, atau Pak Mardi, atau kak Edi, bang Edi. Kecuali sedang dalam memimpin rapat resmi tidak enak maka panggil saya Pak Edi. Saya di rumah itu dipanggil Edi. Kalau tetangga saya memanggil saya Pak Mardi.

Jadi, saya selalu bilang kita ini bolehlah jadi pegawai negeri tapi kita harus meninggalkan budaya pegawai negeri yang tidak sehat misalnya birokratis, selalu struktural, atau juga budaya pegawai negeri itu tidur siang. Makanya, sejak saya jadi rektor jam kerja saya itu mulai 7:30 sampai jam 16:00.

MTI: Apakah bersikap tidak birokratis itu sebab ketika mahasiswa Anda suka turun ke jalan?

AZA: Ya, kalau turun ke jalan itu saya kira sifat mahasiswa seperti itu, dimana-mana juga mahasiswa harus seperti itu. Tapi, tentu saja dengan pertama harus berpikir yang rasional tidak anarkis. Sebab kalau mahasiswa anarkis itu tidak cocok sebab mahasiswa itu memberi kekuatan moral. Mahasiswa harus memberikan contoh bagaimana orang yang terdidik menyampaikan pandapatnya, mengeksposkan ketidaksukaannya terhadap sesuatu hal. Dan itu harus disampaikan dengan cara yang santun yang beradab.
Jadi, menurut saya sangat penting kelompok-kelompok moral manapun dia harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral kalau tidak dia akan kehilangan hak moralnya. Kita tidak bisa mengatakan stop korupsi sedangkan kita sendiri korupsi, itu tidak bisa. Jadi ada satu konsekuensi di situ.

MTI: Kontribusi pemikiran Anda terhadap masa depan bangsa ini sangat dibutuhkan terutama pasca pemilihan presiden, dimana akan ada kepemimpinan baru dan dengan bangunan demokrasi yang baru?

AZA: Ya, saya kira memang siapapun yang jadi presidennya, agenda-agenda yang masih tersisa perlu menjadi prioritas yakni penciptaan good governance, pemerintahan yang baik. Good governance yang tentu saja pemerintahan yang bersih, kemudian betul-betul memiliki komitmen untuk pemberantasan KKN, komitmen untuk penegakan hukum. Saya kira agenda-agenda seperti ini yang belum selesai masih jauh dari harapan.

MTI: Pemikiran apa yang bisa Anda sumbangkan untuk masa depan bangsa?

AZA: Ya, selama ini juga saya sudah memberikan banyak sumbangan ya, atau paling tidak mengungkapkan hal-hal seperti kita perlu tadi sebagai kaidah. Menciptakan good governance, melakukan konsolidasi demokrasi, menegakkan hukum, melakukan rekonsiliasi diantara berbagai elemen bangsa, memulihkan kembali harkat dan martabat bangsa karena citra bangsa kita ini terpuruk di depan mata internasional, bagaimana kita melihat perlakuan orang-orang asing terhadap para TKW kita di berbagai negara, misalnya di Singapura, di Hongkong.

Indonesia itu bangsa yang besar. Menurut saya salah satu tugas dari kepemimpinan nasional masa depan adalah memulihkan kembali harkat dan menumbuhkan kembali proud sebagai bangsa Indonesia. Saya menganggap Indonesia ini terlalu lama menjadi sleeping giant menjadi raksasa yang tidur. Jadi, salah satu tugas pemimpin itu adalah membangkitkan harga diri memberikan semangat terus menerus.

Jadi kalau pemimpinnya sudah terus mengeluh di depan publik bagaimana negara ini bisa maju, memiliki kebanggaan. Menumbuhkan kebanggaan ini menurut saya juga salah satu yang sangat penting. Karena kalau kita sudah memiliki kebanggaan saya kira kemudian itu bisa menjadi inner driving force, menjadi kekuatan pendorong dalam diri kita untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.

MTI: Salah satu pilar menuju itu pendidikan?

AZA: Oh ya jelas, pendidikan jelas merupakan salah satu kuncinya, kunci pokoknya itu. Jadi pendidikan harus diberikan perhatian yang lebih besar. Kuncinya adalah perbaikan nasib guru, pembenahan kurikulum dan penyediaan fasilitas.
Yang saya kira kuncinya adalah perbaikan kesejahteraan. Tapi peningkatan kesejahteraan saja enggak cukup kalau tidak ada penegakan hukum. Oleh karena itu saya kira pemerintahan yang akan datang punya kewajiban untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, pegawai negeri khususnya pejabat-pejabat. Tapi juga harus dijelaskan oleh siapapun presidennya, kalau dia masih macam-macam dengan gaji yang sudah layak akan ditindak. Tapi jangan dibandingkan dengan menteri-menteri Singapura misalnya, enggak bisa dibandingkan.

Tapi kalau kebutuhan-kebutuhan pokoknya sudah bisa terpenuhi masih juga melakukan hal seperti itu, kepemimpinan nasional harus punya keberanian menindak itu, menterinya, atau siapa saja, terutama pejabat-pejabat tinggi. Pejabat tinggi ini apa sih yang dibutuhkan lagi, fasilitas sudah dapat. Kalau mobil tinggal naik tidak pernah memikirkan bensinnya. Yang memikirkan bensinnya ‘kan masyarakat, tapi setelah itu masih korupsi juga. Kalau kepemimpinan nasional tidak berani menuntas kerakusan itu saya kira akan semakin rusak negara kita ini.

MTI: Untuk mengembalikan harkat dan martabat, Anda punya mimpi cara mengatasinya?

AZA: Ya. Yang pertama harus sering-sering diungkapkan bahwa bangsa kita ini bangsa yang besar, bangsa yang berharkat, bangsa yang punya sejarah yang membanggakan di masa lalu.

Kita merdeka bukanlah pemberian orang lain tapi kita betul-betul merebut kemerdekaan itu dengan darah dan air mata. Dan ini harus diingatkan secara terus menerus. Itu tugas dari kepemimpinan nasional. Jadi kita harus terus bilang begini, saya dalam skala yang terbatas di sini di Universitas Islam ini mengatakan, kita harus jangan sampai memiliki mental pecundang, mental orang kalah, atau psychology of the loser, psikologi orang pecundang orang kalah.

Saya sering bilang, memang selalu orang bilang kalau dalam penelitian kita ini kalah dengan Malaysia. Akhirnya lama-lama memang psikologi kita psikologi orang kalah. Nah, kita di UIN ini setiap tahun kedatangan tamu dari Malaysia minta bekerjasama, mengirim mahasiswanya ke sini tidak hanya dalam ilmu-ilmu agama tapi juga dalam ilmu-ilmu yang lain.
Jadi, kita harus memiliki psychology of the winner psikologi orang menang. Misalnya psikologis kita adalah psikologis kalah, pecundang, lama-lama kita memang jadi pecundang. Tidak pernah jadi pemenang. Jadi tugas kepemimpinan nasional itu membangkitkan kebanggaan kita harkat kita.

MTI: Salah satu pusat pendidikan Islam terpadu yang kini menjadi phenomenal adalah Kampus Ma’had Al-Zaytun di Indramayu yang menggagas ide perdamaian dan toleransi. Namun agaknya UIN Jakarta tak kalah phenomenal sebab berada di tengah kota dengan 17.000 lebih mahasiswa dan masih mempunyai kesempatan berkembang lebih besar?

AZA: Kita juga seluruhnya dalam bahasa yang lain begitu. Yang kita rumuskan sebagai visi dan misi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di sini ini adalah mengintegrasikan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Jadi kalaupun kita orang Islam, Islamnya itu adalah Indonesia bukan Islam di Arab dan macam-macam itu.

Ekspresi kulturalnya adalah ekspresi kultural yang Indonesia.
Jadi, kita jangan membuat dikotomisasi terhadap Islam pada satu pihak dengan Indonesia pada pihak lain. Kecintaan kita terhadap Islam tidak mengurangi kecintaan kita terhadap Indonesia, itu yang ingin kita realisasikan di sini. Dan juga begitu, kecintaan kita kepada keindonesiaan juga tidak mengurangi kecintaan kita kepada kemanusiaan. Jadi, karena keindonesiaan itu juga tidak eksklusif milik orang Islam, di dalamnya juga ada orang-orang lain yang non muslim dan sebagainya, maka kemudian kecintaan kita kepada keindonesiaan sama dengan kecintaan kita juga kepada kemanusiaan yang universal.

Jadi itu yang kita rumuskan dalam visi di universitas ini. Secara subtantif, saya kira tidak banyak beda dengan apa yang dirumuskan oleh Pak Panji Gumilang.
BIO DATA
Nama:
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Lahir:
Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955
Agama:
Islam
Istri:
Ipah Fariha, kelahiran Bogor 19 Agustus 1959 (Menikah: 13 Maret 1983)
Anak:
Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra
Pendidikan:
1. Fakultas Tarbiyah, IAIN Jakarta, 1982
2. Master of Art (MA), Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University, 1998
3. Master of Philosophy (Mphil), pada Departemen Sejarah, Columbia University, tahun 1990
4. Doktor Philosophy Degree, tahun 1992
Karir:
1. Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985)
2. Dosen Pasca Sarjana Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang)
3. Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta
4. Pembantu Rektor I IAIN Jakarta (1998)
5. Rektor IAIN (UIN)Jakarta (1998-sekarang)
6. Professor Fellow di Universitas Melbourne, Asutralia (2004-2009)
7. Anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad, Pakistan (2004-2009)
Kegiatan Lain :
1. Ketua Umum Senat Mahasiswa Fak Tarbiyah IAIN Jakarta (1979-1982)
2. Ketua Umum HMI Cabang Ciputat (1981-1982)
3. Anggota Selection Committee Toyota Foundation & The Japan Foundation (1998-1999)
4. Anggota SC SEASREP (1998)
5. Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) (1998-sekarang)
6. Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS)
7. Anggota the International Association of Historian of Asia (1998-sekarang)
8. Visiting Fellow pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University (1994-1995)
9. Dosen Tamu University of Philippines dan University Malaya (1997)
10. External Examiner, PhD Program Universiti Malaya (1998-sekarang)
11. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran
12. Anggota Dewan Redaksi Islamika
13. Pemimpin Redaksi Studia Islamika
14. Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat IAIN Jakarta
15. Anggota Redaksi Jurnal Qquranic Studies, SOAS/University of London
16. Anggota Redaksi Jurnal Ushuludin Univeristy Malaya, Kuala Lumpur
Menulis 18 buku tentang Islam dan memiliki koleksi 15.000 judul buku
Buku Terbit:
1. Jaringan Ulama, terbit tahun 1994
2. Pergolakan Poitik Islam, terbit tahun 1996
3. Islam Reformis, terbit tahun 1999
4. Konteks Berteologi di Indonesia, terbit tahun 1999
5. Menuju Masyarakat Madani, terbit tahun 1999
6. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, terbit tahun 1999
7. Esei-esei Pendidikan Islam dan Cendekiawan Muslim,1999
8. Renaisans Islam di Asia Tenggara –buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, terbit tahun 1999
9. Islam Substantif, terbit tahun 2000
10. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah (2002)
11. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi (2002)
12. Reposisi Hubungan Agama dan Negara (2002)
13. Menggapai Solidaritas: Tensi antara Demokrasi, Fundamentalisme, dan Humanisme (2002)
14. Konflik Baru Antar-Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas
15. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (2002)
16. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (2003)
17. Disertasi doktor berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries’”, pada tahun 2004 sesudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), di Honolulu (Hawaii University Press), dan di Leiden Negeri Belanda (KITLV Press).
Penghargaan:
Penulis Paling Produktif, dari Penerbit Mizan, Bandung, tahun 2002

No comments:

Post a Comment